REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) disebut memiliki masalah prosedural dan substansial dalam pembahasannya. RUU HIP tersebut merupakan usulan dari DPR.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menjelaskan, permasalahan itu menyangkut keberlakuan TAP MPRS XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan larangan ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme. Kendati demikian, dia mengatakan, masalah tersebut sudah diselesaikan.
“Artinya sudah semua stakeholder sependapat bahwa TAP MPRS XXV itu berlaku, itu masalah substansialnya,” kata Mahfud di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Selasa (23/6).
Kedua yakni masalah isi Pancasila yang kemudian diusulkan agar dilakukan pemerasan Pancasila menjadi trisila dan ekasila. Namun, masalah ini juga telah diselesaikan secara subtansial baik oleh pemerintah maupun pengusul. Sehingga, hal ini tidak bisa masuk dalam undang-undang.
“Masalah isi Pancasila yang semua sebenarnya isi sejarah bahwa pernah digagas pemerasan Pancasila menjadi trisila dan ekasila yang pernah digagas oleh Bung Karno dan mau dinormakan. Itu sudah diselesaikan secara substansial,” kata dia.
Kendati demikian, masih ada masalah substansial sambilan lainnya yakni RUU HIP dianggap menafsirkan Pancasila. “Dianggap RUU HIP mau menafsirkan Pancasila dan mau memposisikan Pancasila kembali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, padahal itu sudah final itu masalah substansial,” ujar dia.
Mahfud pun menegaskan, RUU HIP tersebut merupakan usulan dari DPR. Sehingga, pemerintah tidak bisa mencabut usulan tersebut. Karena itu, pemerintah menyerahkan sepenuhnya pembahasan ini kepada DPR apakah akan dilanjutkan atau dihentikan.
“Kita kembalikan ke sana masuk ke proses legislasi di lembaga legislatif, oleh karena itu kita kembalikan ke sana, tolong dibahas ulang, soal mau dicabut atau tidak itu bukan urusan pemerintah. Jadi, keliru kalau minta pemerintah mencabut itu,” ujarnya.