REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dwi Murdaningsih, Fitriyan Zamzami, Wilda Fizriyani, Mursalin Yasland
Pada 2010, Yohannes Surya yang ahli matematika itu bikin eksperimen. Ia mengumpulkan puluhan anak-anak dari sejumlah daerah di Papua. Yang ia mintakan ke pemda dan dinas pendidikan kala itu hanya mereka yang prestasi akademisnya di nomor buncit.
Mereka dibawa Pak Guru, sapaan akrab Yohannes, ke Tangerang untuk secara intensif mengikuti pelatihan matematika dan fisika selama enam bulan. Di antara mereka kala itu, ada Janus dan Yokina yang bahkan belum paham betul dengan konsep pengurangan dan penjumlahan.
Janus sudah berusia 19 tahun namun masih duduk di kelas IV. Sedangkan Yokina sudah menginjak 16 tahun dan masih duduk di kelas VII. Keduanya dari Kabupaten Yahukimo di pengunungan tengah Papua. Janus dan Yokina menceritakan, selama di sekolah kerap menjadi sasaran kemarahan guru-guru dan dibilang bodoh lantaran gagap di matematika.
Di bawah bimbingan Yohannes, hanya sehari saja mereka sudah bisa memecahkan persoalan matematika. Prestasi siswa-siswi lainnya dari Papua yang ia bimbing tak kalah mentereng.
"Ada yang dulu tidak bisa menghitung, sekarang mendapatkan perunggu di olimpiade nasional. Ada pula yang empat tahun tinggal kelas sekarang mendapatkan perunggu di lomba robot," kata Yohannes yang pada 2011 lalu didapuk sebagai salah satu Tokoh Perubahan Republika.
Tujuan Yohannes kala itu sederhana. Ia ingin membuktikan bahwa tak ada yang namanya anak bodoh. Jika diterjemahkan dalam sentimen belakangan, Pak Yohannes membuktikan bahwa kepintaran tak ada kaitannya dengan etnis seseorang.
Yang ia lakukan secara tak langsung membuktikan bahwa segala keterbelakangan yang kerap secara serampangan disematkan kepada orang asli Papua terbukti adalah persoalan sistem pendidikan, kesehatan, dan sosio-ekonomi, bukan ketakmampuan alamiah.
Angka bicara
Dan persoalan sistemik itu punya dampak yang tampak jelas jika kita menengok statistika. Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019 mencatat bahwa angka harapan hidup warga Papua (65,65 tahun) dan Papua Barat (65,90 tahun) adalah yang paling pendek se-Indonesia, jauh lebih rendah dari rerata nasional (71,34 tahun).
Sedangkan angka buta huruf di Papua pada 2018 lalu mencapai 28,75 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dari NTB (7,9 persen) yang menempati peringkat kedua, apalagi dari rerata nasional yang hanya 1 persen saja.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua Barat (64,7 poin) dan Papua (60,84 poin) juga yang paling rendah di Indonesia merujuk data BPS pada 2019. Angka itu jauh lebih rendah dari rerata nasional pada 71,92 poin.
Di bidang hukum, Amnesty International mencatat ada 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh TNI-Polri di Papua antara Januari 2010 sampai Februari 2018 yang menewaskan 95 orang. Sebagian besar korban, 85 orang, beretnis Papua. Sebanyak 25 kasus tersebut tak diinvestigasi sama sekali. Sedangkan dalam 26 kasus lain, dilakukan penyelidikan internal yang hasilnya tak diumumkan ke publik.
Nah, membuktikan bahwa sistem punya peran menjaga keterbelakangan orang Papua adalah satu hal. Membuktikan bahwa ada rasisme dibalik sistem itu, hal lain lagi.
Secara historis, menurut Peneliti Sejarah dari Pusat Studi Budaya dan Laman Batas, Universitas Brawijaya (UB), Kota Malang, FX Domini BB Hera, rasisme relatif tak dikenal di Nusantara sebelum kolonial Belanda datang.
"Ketika VOC sudah masuk, (anggapan) ‘kami berbeda dengan orang lain’ (muncul). Jadi mereka membedakan dari kontingen dia datang bahwa Eropa nggak sepenuhnya Eropa. Ada Belanda, Spanyol dan Inggris. Ini karena (dianggap) musuh saingan di perdagangan monopoli," kata dia dalam seminar daring baru-baru ini.
Sisco, panggilan akrabnya, juga menemukan data bahwa kolonial Belanda yang pertama mengklasifikasi warga Nusantara berdasarkan warna kulit. Mereka memanggil masyarakat Flores, misalnya, dengan sebutan "Orang Portugis Hitam".
Penyelamatan
Terlepas dari paparan itu, awam diketahui bahwa dalam pandangan kolonial mereka merasa punya hak menjajah karena pribumi dianggap belum berbudaya tinggi dan tak mampu menjalankan pemerintahan modern. Para kolonialis merasa bahwa tugas mereka mengenalkan peradaban dan modernitas pada kaum pribumi. Dalam teori rasialis saintifik lawas yang saat ini sudah banyak dimentahkan, orang Eropa merasa bahwa merekalah puncak dari evolusi manusia.
Pola pikir ini, bahwa ada golongan etnis lain yang perlu diselamatkan, terekam menjangkiti sebagian bapak pendiri bangsa saat membayangkan wilayah negara yang akan mereka bentuk. Tengok yang mereka katakan soal alasan wilayah Papua harus masuk Indonesia dalam sidang BPUPKI pada pertengahan 1945 silam.
Dalam sidang itu, diketahui tak ada perwakilan Papua yang hadir. "Maka oleh sebab itu lebih bertambah beratlah kewajiban kita sebagai orang Indonesia juga mewakili daerah itu. Daerah yang tersebut adalah dalam rapat panitia ini seorang anak yatim nestapa, yang patut dilindungi dengan hati yang penuh kesucian pendirian," kata Mohammad Yamin, pengusul paling kuat masuknya Papua ke Indonesia.
Tentang hal Papua, tuan-tuan yang terhormat sekalian, rakyat di Papua saja tidak mengenal kehendaknya. Malahan saja mau menerima, bahwa rakyat di Papua belum bisa mengerti politik.
Haji Agus Salim kala itu menekankan setaranya kapasitas intelektual dan kebijaksanaan orang-orang Papua. Ia, bersama Mohammad Hatta meyakini bahwa orang-orang Papua harus diberikan hak bebas memilih masuk NKRI atau menjadi negara merdeka.
Tetapi Sukarno punya pendapat lain. "Tentang hal Papua, tuan-tuan yang terhormat sekalian, rakyat di Papua saja tidak mengenal kehendaknya. Malahan saja mau menerima, bahwa rakyat di Papua belum bisa mengerti politik," ujar Sukarno. Tak ada yang tahu isi hati Sukarno, tapi pernyataan ini ironis keluar dari orang yang memperjuangkan kemerdekaan dari kolonialisme. Jenis pernyataan yang memohon diserang warganet Indonesia jika ia disampaikan zaman sekarang.
Ada juga pernyataan yang disampaikan Abdul Kahar Muzakkir. "Maka biarlah yang tinggal di Papua agak lebih hitam-hitaman sedikit dari pada kita, akan tetapi tanah Papua itu pula menjadi sumber kekayaan kita. Janganlah sumber kekayaan, yang diwariskan oleh nenek-moyang kita hilang dengan sia-sia belaka," ujarnya seperti terekam dalam risalah sidang.
Seperti Yamin dan Sukarno, Muzakkir kala itu bisa jadi tak sengaja dalam intonasi diskriminatif atau rasialis yang mereka sampaikan. Tapi masyarakat di zaman ini tentunya tahu betapa problematis pandangan-pandangan itu.
Kemudian apakah pandangan-pandangan diskriminatif itu tercermin dalam kebijakan pusat setelah Papua melalui pemungutan suara lokal yang amat terbatas akhirnya masuk NKRI pada 1969? Adriana Elizabeth, peneliti LIPI yang bertahun-tahun meneliti akar persoalan di Papua bilang "iya". "Dalam buku Papua Road Map (kesimpulan penelitian LIPI yang diterbitkan pada 2008), rasisme ada dalam klaster marjinalisasi dan diskriminasi," ujarnya ketika dihubungi.
Buku itu menyimpulkan, ketakpuasan orang asli Papua juga dipicu kebijakan-kebijakan pusat yang meminggirkan suku-suku asli Papua secara sosial-ekonomi. Kebijakan yang berujung pada ketertinggalan mereka di bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.
Buat Yones Douw, aktivis HAM Papua, kejadian rasialisme di Surabaya terhadap mahasiswa Papua, kemudian tindakan hukum terhadap pengunjuk rasa yang memprotes kejadian itu, jadi cerminan gejala tersebut kian kentara.
Ucapan rasialis di asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada pertengahan 2019 itu memicu aksi unjuk rasa di berbagai wilayah di Papua dan Papua Barat. Belasan pengunjuk rasa terbunuh dan puluhan ditangkap. Tujuh di antaranya telah diadili dan divonis 10 sampai 11 bulan penjara.
Di Wamena, pada September 2019, desas-desus soal ucapan rasialisme juga berujung unjuk rasa yang ditingkahi penganiayaan dan pembunuhan terhadap puluhan warga pendatang. Ribuan mengungsi dan banyak belum kembali hingga saat ini.
"Sebagai aktivis HAM, saya lihat tidak ada bedanya dengan perlakuan terhadap kulit hitam di Amerika Serikat. Kami di sini bahkan disebut monyet, babi, anjing, gorila. Kami dipersekusi, diintimidasi, dirampas, dibunuh, ditembak mati, dan mengalami diskriminasi di bidang hukum oleh aparat keamanan," ujarnya sembari menyinggung aksi Black Lives Matter di Amerika Serikat yang dalam sejumlah kesempatan juga berujung kericuhan yang meluas.
Separatisme
Meskipun begitu, ia mengakui bahwa akar dari diskriminasi tersebut berbeda. Di Amerika Serikat, akarnya adalah brutalitas aparat kepolisian yang merupakan residu ratusan tahun perbudakan kulit hitam di masa lalu. Sementara di Indonesia, akar diskriminasi itu terkait sangat erat dengan perbedaan pandangan soal absah tidaknya penggabungan Papua dalam NKRI.
"Seperti orang Papua itu seolah-olah (semuanya) separatis. Stigma negatif itu saya kira ada di balik rasisme," ujar Direktur Eksekutif Amnesti Internasional, Usman Hamid pada diskusi daring belum lama ini. Persepsi rasialisme dalam penegakan hukum terhadap warga Papua yang dikritik belakangan, menurutnya juga terkait aparat yang tak profesional dan pendekatan kekerasan menyikapi isu separatisme. Kelompok bersenjata yang ingin memerdekakan diri di Papua dan melakukan pembunuhan terhadap aparat keamanan kemudian juga dijadikan pembenaran atas penindakan tersebut.
Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (Lemasa), Odizeus Beanal menyatakan bahwa rasialisme dan separatisme di Papua semacam lingkaran setan. "Diskriminasi rasial terhadap orang Papua di segala bidang telah terjadi sejak Papua dijadikan bagian dari NKRI pada tahun 1969 hingga hari ini," kata dia.
Diskriminasi itu kemudian mewujud menguatkan perasaan berbeda dan keinginan merdeka. Aspirasi keinginan merdeka itu, meski disampaikan dengan cara-cara damai, ditingkahi dengan kekerasan dan sentimen yang lebih diskriminatif. "Bahayanya jika diskriminasi rasial terus dipelihara terhadap orang Papua, maka sepatutnya Pemerintah Indonesia dan juga suku Melayu harus bersedia dan legowo jika orang Papua ingin hidup sendiri atau merdeka," ujarnya.
Ia tak menyangkal, banyak yang sudah dilakukan pusat dalam upaya meredam sentimen itu. Di antaranya dengan kebijakan afirmasi ASN di Papua, penempatan pejabat-pejabat putra daerah, penunjukan menteri, serta terpilihnya kepala daerah setempat. "Tapi itu hanya satu cara saja. Masih banyak cara lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk menciptakan kesetaraan rasial di Indonesia," ia menambahkan.
"Poinnya adalah generasi muda Indonesia harus diajarkan untuk melihat perbedaan suku dan ras sebagai kekayaan dan keunikan bukan suatu keburukan," kata Odizeus.
Sedangkan tokoh senior Papua, Freddy Numberi menegaskan dalam keterangan tertulisnya bahwa kasus rasialisme di Amerika Serikat, khususnya terkait terbunuhnya George Floyd dengan kasus-kasus di Papua sedianya berbeda konteks. Namun, menurutnya ada singgungan begitu dikaitkan dengan ketidakadilan, kesejahteraan, dan hak-hak masyarakat Papua dibandingkan dengan daerah lain.
Saat aksi unjuk rasa dilakukan di seantero dunia memprotes rasialisme di Amerika Serikat itu dilakukan, ingatan soal persepsi rasialisme yang dialami warga Papua dan memicu aksi unjuk rasa yang belum setahun lewat kembali muncul.
Persepsi soal rasialisme terhadap warga Papua, menurut mantan gubernur Papua itu, sedianya terkait pendekatan represif di Papua. "Ada unsur ketidakadilan, kesejahteraan, dan hak-hak masyarakat yang terabaikan sejak awal integrasi dan pendekatan represif pemerintah yang silih berganti terus berlangsung," kata dia dilansir Antara, Kamis (18/6).
Solusinya, menurut Freddy, adalah pendekatan yang lebih manusiawi dan dijunjung tingginya hak-hak demokratis orang Papua. Ia menyarankan, ada regulasi khusus yang dikeluarkan pemerintah terkait hal itu.
"Kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Pendekatan represif pemerintah selama ini berpotensi mengobarkan konflik yang berkepanjangan dan berujung pada kebencian terhadap pemerintah, apalagi mendapat dukungan 'angin sorga' dari luar Papua," kata dia mengacu sentimen internasional saat ini.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo, menurutnya, harus memulai kembali komitmen untuk menjamin Papua yang lebih aman, damai, sejahtera, dan demokratis tanpa diskriminasi. "Jokowi harus meninggalkan legacy dengan mengubah memoria passionis (ingatan penderitaan) dengan memoria felicitas (ingatan kebahagiaan) di Tanah Papua," kata Freddy Numberi.
Tokoh-tokoh Papua tersebut agaknya sepakat, ada diskriminasi sistemik terhadap orang Papua. Kendati demikian, hal bukan semata persoalan rasialisme apalagi jika diseragamkan dengan fenomena di Amerika Serikat. Diskriminasi itu adalah fenomena kompleks yang jawabannya bukan semata retorika antirasialisme, melainkan tindakan nyata mengubah pendekatan pusat terhadap Papua.
Di Lampung, pada 10 Juni lalu, Koalisi Pembela Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi Lampung melaporkan tindakan oknum yang melakukan teror dan ancaman kepada dua jurnalis mahasiswa Teknokra Universitas Lampung (Unila). Teror dan ancaman keselamatan kepada dua jurnalis kampus tersebut, diduga berkaitan dengan penyelenggaraan diskusi daring bertajuk “Diskriminasi Rasial terhadap Papua”.
"Jangan macem-macemlah, segala bikin diskusi yang memprovokasi. Hati-hati saja nanti kalo di jalan bro," kata Pimpinan Umum Teknokra Unila Chairul Rahman Arif mengutip ancaman itu.
Kejadian ini bukan hanya di Lampung saja, dan ia menggambarkan resistensi terkait pembahasan soal pelik tersebut. Alih-alih membiarkan teror-teror semacam itu, pemerintah mestinya ikut serta dalam dialog. Setidaknya sebagai gestur bahwa masalah ini harus dibicarakan secara jujur dan perlu ada yang dilakukan terkait hal tersebut. n