REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid menilai rancangan undang-undang haluan ideologi Pancasila (RUU HIP) memuat banyak hal yang sensitif. Untuk itu, ia mengatakan, perlu kehati-hatian dan ketelitian dalam proses pembahasannya.
Menurut dia, MPR telah sepakat dengan keputusan pemerintah untuk menunda atau menghentikan sementara pembahasan RUU HIP. "Kamis (18/6) siang, para pimpinan MPR telah menyetujui langkah pemerintah untuk menunda atau memberhentikan sementara pembahasan RUU HIP," kata Jazilul Fawaid dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (19/6).
Hal itu dikatakannya dalam diskusi virtual bertajuk "Bedah RUU Haluan Ideologi Pancasila", yang digelar PP IPNU, Kamis (18/6). Jazilul mengatakan, apabila salah proses sosialisasi RUU HIP kepada masyarakat, apalagi di tengah kondisi pandemi Covid-19 seperti sekarang, hal itu bisa berbahaya.
"Kalau sosialisasinya salah maka seperti membuka kotak pandora. Kalau dalam bahasanya PBNU, ini mengurai ikatan yang sudah kuat karena negara ini disebut darul mitsaq, negara kesepakatan," ujarnya.
Dia menilai Pancasila merupakan kalimatun sawa, yaitu yang menyatukan keragaman etnis, ras, budaya, dan agama, disebut juga mitsaqon gholidzo atau perjanjian yang agung. Hal itu, menurut dia, yang disebut dengan nilai-nilai dasar sehingga tidak bisa diturunkan lagi menjadi undang-undang.
Politikus PKB itu menilai ide penguatan Pancasila tetap menjadi sesuatu yang penting. Namun, apakah dalam bentuk undang-undang atau melalui lembaga MPR dengan mengamendemen UUD dan memasukkan sesuatu yang sifatnya teknis.
"Sebab apa? Ketika presiden dilantik, pimpinan MPR dilantik, itu tidak ada kata-kata setia pada Pancasila. Memang tidak ada di semua sumpah jabatan. Justru kalau di IPNU, PBNU, saat pelantikan itu ada setia karena Pancasila," katanya.
Dia menilai, karena itu perlu dikaji bagaimana membuat rumusan yang tepat dalam penguatan Pancasila sebab bukan perkara yang mudah merumuskan masalah tersebut. Apalagi, menurut dia, draf yang ada saat ini ditolak berbagai kalangan seperti ormas Islam. Bahkan, purnawirawan TNI menolaknya karena tahu sisi kesejarahannya.
"Memang menurut saya, wacana ini dihentikan saja, apalagi di tengah pandemi. Ketika situasi normal kembali, kita bisa membaca keadaan, silaturahim bisa jalan sehingga sosialisasi terhadap ide penguatan Pancasila ini kalau mau dibentuk dalam RUU itu bisa lebih jelas," katanya.
Dia menilai saat ini justru yang berkembang di tengah masyarakat adalah munculnya berbagai pertentangan antara lain lahirnya isu komunis mau bangkit lagi atau mau menjadi sekuler. Jazilul mengaku sangat setuju adanya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Namun, kalau hal tersebut harus dipayungi hukum, pembahasannya harus hati-hati agar tidak terjadi kesalahpahaman.
"Karena kalau terjadi kesalahpahaman, itu sama dengan mengurai sesuatu yang sudah rapi, kemudian berantakan. Takutnya tidak sama, padahal ini adalah prinsip dasar," ujarnya.
Dia mengatakan, MPR juga memiliki tugas yang salah satunya adalah penguatan pilar-pilar kebangsaan. Karena itu, sebelum lahirnya BPIP, ada Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), yang merupakan badan yang dibentuk presiden. "Bersama MPR, UK-PIP ditingkatkan statusnya lewat perpres sehingga lahir BPIP, lalu sebagian anggota DPR menganggap perlu agar BPIP dibuatkan payung hukum tidak hanya dengan kepres tetapi UU agar posisinya kuat. Kalau hanya dengan kepres, nanti ganti presiden, kepres dicabut, hilang," katanya.
Jazilul menilai Pancasila memang mengalami pasang surut dan dinamika, misalnya ketika menghadapi komunisme, lahir Pancasila, lahir juga Tap MPR Nomor II/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Saat era reformasi, menurut dia, Tap MPR Nomor II dicabut sehingga tidak ada lagi P4. Setelah itu, ternyata ada kegalauan. Dunia masuk sistem global. Ada kekhawatiran nasionalisme dan Pancasila digerus wacana-wacana global sehingga lahirlah BPIP.
Jazilul menjelaskan, ketika rancangan akademik RUU HIP, dia mempertanyakan judul karena awalnya bukan RUU HIP, melainkan "pembinaan ideologi Pancasila". "Ini semacam P4. Ketika rumusannya berubah, judulnya berubah seperti sekarang, selain menyimpang dari tujuan awal penguatan kepada BPIP, filosofinya juga berubah. Karena itu, wajar ada yang menafsirkan UU ateis, anti-Tuhan, sekuler karena tidak menyebutkan dalam konsiderans TAP MPRS soal larangan komunisme," ujarnya.