Kamis 18 Jun 2020 15:50 WIB

Alat Deteksi Covid-19 Unpad-ITB Masuki Validasi Sampel Virus

Validasi bertujuan untuk meyakinkan atau menilai kualitas rapid test 2.0 dan SPR.

Rep: arie lukihardianti/ Red: Hiru Muhammad
Alat tes COVID-19 hasil penelitian Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Institut Teknologi Bandung (ITB), yakni Rapid Test 2.0 dan Surface Plasmon Resonance (SPR), di Pusat Riset Bioteknologi Molekular dan Bioinformatikan Unpad, Kota Bandung, Kamis (14/5)
Foto: Humas Pemprov Jawa Barat
Alat tes COVID-19 hasil penelitian Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Institut Teknologi Bandung (ITB), yakni Rapid Test 2.0 dan Surface Plasmon Resonance (SPR), di Pusat Riset Bioteknologi Molekular dan Bioinformatikan Unpad, Kota Bandung, Kamis (14/5)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Dua alat deteksi SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19, yang dikembangkan perguruan tinggi di Jawa Barat (Jabar), yakni Unpad dan ITB, sedang divalidasi ke sampel virus sebenarnya. Kedua alat itu, adalah Deteksi CePAD atau Rapid Test 2.0, dan Surface Plasmon Resonance (SPR).

Menurut Koordinator Peneliti Rapid Test Covid-19 Unpad dari Fakultas MIPA, Muhammad Yusuf, validasi ke sampel virus dilakukan setelah kedua alat tersebut tervalidasi di laboratorium.

"Kami bekerja sama dengan beberapa pihak dalam validasi ini. Saat ini, formulasi dan uji CePAD di skala laboratorium terhadap protein virus sudah menunjukkan hasil yang baik, jadi bisa dilanjutkan ke validasi di lapangan" ujar Yusuf, Kamis (18/6). 

Yusuf mengatakan, perbedaan rapid test 2.0 dengan rapid test yang umum digunakan saat ini adalah molekul yang dideteksi. Rapid test Covid-19 yang umum mendeteksi antibodi, dan rapid test 2.0 ini mendeteksi antigenm

Sehingga, kata dia, rapid test 2.0 dapat mendeteksi virus lebih cepat, karena tidak perlu menunggu pembentukan antibodi saat tubuh terinfeksi virus. 

Menurutnya, konsep deteksi antibodi maupun antigen keduanya bagus dan berdasar pada teknologi yang benar. Deteksi antibodi saat ini, keunggulannya pada samplingnya yang lebih mudah, dari darah. "Namun, deteksi antibodi pada Covid-19 lebih tepat untuk tracing, ingin tahu virus sudah menyebar di mana saja," katanya. 

Deteksi antigen, kata dia, bisa digunakan untuk mengetahui penyebab orang sakit ketika sedang menunjukkan gejala seperti demam dan batuk. "Jika orang baru terpapar virus beberapa hari, deteksi antibodi kemungkinan besar negatif atau nonreaktif karena antibodi terhadap virusnya belum terbentuk," katanya.

Yusuf mengatakan, pihaknya bersama mitra industri sedang melengkapi fasilitas assembly rapid test dan produksi 5.000 kit pada Mei-Juni untuk keperluan validasi. 

Setelah validasi menunjukkan hasil yang baik, kata dia, pada Juli 2020, pihaknya akan produksi 10.000 kit, kemudian dilanjutkan 50.000 kit per bulan sesuai dengan kapasitas produksi mitra saat ini. Jika diperlukan lebih banyak, pihaknya mengajak partisipasi berbagai pihak untuk meningkatkan kapasitas produksi tersebut.

"Cara kerja rapid test 2.0 ini, sampel swab dicampurkan ke larutan khusus, kemudian diteteskan ke alatnya. Sama dengan rapid test yang sekarang, 10-15 menit hasilnya keluar. Selain swab nasofaring, kami juga sedang mengembangkan sampling dari air liur," katanya. 

Adapun SPR atau Surface Plasmon Resonance, kata Yusuf, dikembangkan bersama-sama oleh ITB dan Unpad yang tergabung dalam Task Force Riset dan Inovasi Penanganan Covid-19 (TFRIC-19), yang diinisiasi dan dikoordinasi oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Kemenristek/BRIN. 

SPR dikembangkan untuk bisa berfungsi sebagai alat detektor Covid-19. Alat seukuran aki mobil itu dapat mendeteksi interaksi antara biosensor dan virus SARS-CoV-2. 

Cara kerjanya, kata dia, sampel biologis yang diambil dari pasien atau dalam VTM (viral transport medium) akan dicampur dengan pelarut kemudian dialirkan pada alat SPR. Jika ada virus dalam sampel, maka nanti akan ada perubahan sinyal yang dapat dibaca pada alatnya.

"SPR ini dikembangkan sebagai metode alternatif (pendeteksi Covid-19) yang diharapkan memiliki akurasi yang baik setara dengan PCR. ITB mengembangkan metode SPR-nya, dan Unpad mengembangkan biosensornya, yakni molekul yang bisa menangkap virusnya," katanya.

Kepala Pusat Studi Infeksi Fakultas Kedokteran Unpad Bachti Alisjahbana mengatakan, validasi bertujuan untuk meyakinkan atau menilai kualitas rapid test 2.0 dan SPR. Salah satunya membandingkan tingkat akurasi dengan metode teknik reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR) yang sudah terbukti baik. 

Kemudian, kata dia, diambil spesimen yang sama, swab juga, tapi kemudian pasien diperiksa PCR. Lalu, diambil spesimen 30 pasien yang Covid-19-nya positif PCR, dan 30 pasien yang Covid-19-nya negatif PCR.

"Spesimen yang sama, Kami periksakan dengan alat uji cepat Pak Yusuf dan kawan-kawan. Nanti, kita bisa lihat seberapa besar tingkat ketepatan atau kesamaannya," katanya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement