Rabu 17 Jun 2020 10:49 WIB

Menunda Pencoblosan Pilkada di Daerah Berisiko Tinggi Covid

KPU buka peluang pilkada tidak dilakukan serentak di daerah yang risikonya tinggi.

Ketua KPU Kota Blitar Choirul Umam memasangkan masker bertuliskan Rabu 9 Desember 2020 pada maskot Pilwakot Blitar Si Kendang Memilih (Sidanglih) saat peluncuran tahapan Pilkada serentak di Kantor KPU Kota Blitar, Jawa Timur, Senin (15/6/2020). KPU memutuskan untuk menggelar Pilkada serentak di 270 daerah di seluruh indonesia pada Rabu, 9 Desember 2020 mendatang setelah Pemerintah menetapkan fase pandemi COVID-19 memasuki masa Normal Baru
Foto: ANTARA /Irfan Anshori
Ketua KPU Kota Blitar Choirul Umam memasangkan masker bertuliskan Rabu 9 Desember 2020 pada maskot Pilwakot Blitar Si Kendang Memilih (Sidanglih) saat peluncuran tahapan Pilkada serentak di Kantor KPU Kota Blitar, Jawa Timur, Senin (15/6/2020). KPU memutuskan untuk menggelar Pilkada serentak di 270 daerah di seluruh indonesia pada Rabu, 9 Desember 2020 mendatang setelah Pemerintah menetapkan fase pandemi COVID-19 memasuki masa Normal Baru

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan membuka ruang penundaan tahapan Pilkada 2020 di daerah tertentu apabila pada hari pemungutan suara masih berisiko tinggi penularan virus corona. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada menentukan pemungutan suara serentak dilaksanakan Desember 2020.

Baca Juga

"Kita membuka ruang di mana kalau nanti pada hari pemungutan suara sebagaimana bunyi Perppu, memang ada daerah-daerah pandeminya masih sangat tinggi sekali sehingga masuk zona merah bahkan zona hitam, maka dibuka peluang bagi daerah-daerah tertentu untuk melakukan penundaan tahapan," ujar Pramono dalam diskusi virtual yang ditayangkan Youtube The Habibie Center, Selasa (16/6).

Menurut Komisioner KPU RI Pramono Ubaid Tanthowi, kondisi dan penanganan pandemi Covid-19 tidak seragam di setiap wilayah Indonesia. Ada daerah yang tidak terdapat kasus Covid-19 (zona hijau), daerah berisiko rendah (zona kuning), daerah berisiko sedang (zona oranye), dan daerah berisiko tinggi (merah).

Selain menandai status bahaya dari sebuah wilayah yang terpapar Covid-19, zona warna juga digunakan untuk menandai protokol kesehatan yang harus diterapkan dan dipatuhi. Tata cara penundaan dan melanjutkan tahapan serta protokol kesehatan di setiap tahapan pilkada lanjutan akan diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang pilkada dalam kondisi bencana nonalam Covid-19.

Penyusunan substansi PKPU tersebut dikonsultasikan kepada Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dan Kementerian Kesehatan sesuai standar nasional. Namun, rancangan PKPU pilkada di tengah pandemi ini masih menunggu jadwal rapat konsultasi dengan Komisi II DPR RI dan pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Ruang penundaan pilkada yang akan diatur dalam PKPU juga diamanatkan Perppu 2/2020 dalam Pasal 201A. Apabila pemungutan suara tidak dapat dilaksanakan pada Desember 2020 karena Covid-19 belum berakhir, maka tahapan dapat ditunda dan dijadwalkan kembali.

"Jadi satu, (PKPU pilkada dalam kondisi bencana nonalam Covid-19) membuka ruang untuk dilakukan penundaan dan melanjutkan tahapan bagi daerah-daerah tertentu. Dan kedua, mengatur protokol kesehatan di setiap tahapan pilkada lanjutan," kata Pramono.

Pemungutan suara serentak di 270 daerah akan digelar 9 Desember 2020. Tahapan pilkada ditunda sejak Maret lalu karena pandemi Covid-19. Sehingga waktu pemungutan suara bergeser dari jadwal semula 23 September 2020. Tahapan pemilihan lanjutan kemudian dilaksanakan pada 15 Juni 2020.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Arief Budiman berharap, kasus Covid-19 di Indonesia menurun sebelum hari pemungutan suara. "Yang perlu diingat adalah pada saat ini pandemi itu trennya masih cenderung naik. Prediksi saya setelah bulan Juli dan Agustus itu pandemi akan turun," ujar Arief dalam webinar 'Pemilu Rakyat 2020', Selasa (16/6).

Menurut Arief, ketika kasus Covid-19 melandai, masyarakat akan optimistis terhadap penyelenggaraan Pilkada 2020. Sehingga masyarakat ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan pilkada bukan hanya pada hari pemungutan suara saja.

"Saya yakin kalau ini turun tingkat pandeminya, itu akan membuat masyarakat semakin optimistis untuk bisa menjadi bagian proses penyelenggaraaan pilkada," kata Arief.

Ia mengatakan, KPU siap menjalankan tahapan pemilihan serentak lanjutan di tengah pandemi Covid-19. Namun, KPU belum merampungkan PKPU yang mengatur tata cara pelaksanaan setiap tahapan pilkada di masa pandemi Covid-19. Rancangan PKPU tentang pilkada dalam kondisi bencana non-alam Covid-19 masih menunggu jadwal konsultasi dengan Komisi II DPR RI dan pemerintah.

Selain regulasi, lanjut Arief, KPU juga sudah menyiapkan sumber daya manusia, mulai dari jajaran KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun penyelenggara ad hoc yakni Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). PPS dan PPK baru diaktifkan kembali atau dilantik pada Senin (15/6) kemarin.

"Kemudian unsur yang ketiga adalah anggaran. Karena tidak mungkin ada kebijakan bisa dilaksanakan tanpa dukungan anggaran," tutur Arief.

DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu baik KPU, Bawaslu, maupun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyetujui usulan tambahan anggaran pilkada masing-masing. KPU sendiri mengajukan usulan dana sebesar Rp 4,7 triliun dalam tiga tahap pencairan kepada Menteri Keuangan.

Tahap pencairan pertama dilakukan Juni sebesar Rp 1,024 triliun, tahap kedua Agustus Rp 3,286 triliun, dan tahapan ketiga Oktober Rp 457 miliar. Akan tetapi, Arief belum memastikan anggaran tahap pertama sudah ditransfer atau belum hingga Selasa ini.

"Perkembangan (pencairan tahap pertama) hari ini saya belum cek ya karena yang saya lihat kemarin dilaporkan dalam rapat pleno kita, pembahasan itu akan dikebut dan diselesaikan kemarin, tapi hari ini saya belum cek lagi perkembangannya," jelas Arief.

Padahal, jajaran PPS akan mulai melaksanakan verifikasi faktual dukungan calon perseorangan dengan mendatangi satu per satu pendukung bakal pasangan calon pada 24 Juni. Dengan demikian, alat pelindung diri sebagai standar protokol kesehatan harus segera dipenuhi.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) masih mendorong Pilkada 2020 ditunda hingga 2021 agar waktu persiapan tahapan pemilihan lanjutan lebih panjang. Manajer Program Perludem, Fadli Ramadhanil mengatakan, penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi Covid-19 membutuhkan landasan hukum karena regulasi yang ada hanya mengatur dalam kondisi nornal.

"Kita harus mengakui bahwa saat ini kita tidak punya kerangka hukum di level undang-undang untuk menyelenggarakan pilkada di tengah bencana," ujar Fadli, Ahad (14/6).

Ia menjelaskan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada hanya mengatur keadaan darurat atau bencana dalam sebagian wilayah saja. Tidak seperti Covid-19 yang ditetapkan menjadi bencana nasional, bahkan hampir seluruh daerah penyelenggara Pilkada 2020 terpapar virus corona.

Penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi juga tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada. Perppu ini hanya mengatur penundaan dan penjadwalan kembali pemungutan suara Pilkada 2020 menjadi Desember dari jadwal semula September akibat Covid-19.

"Itu tidak mengatur sama sekali pilkada di tengah bencana. Tapi karena kemudian pilkada terus didorong di tengah kondisi pandemi, perlu kerangka hukum yang mengatur detail teknis pemilu terutama penyesuaiannya dengan protokol kesehatan," jelas Fadli.

Ia melanjutkan, setidaknya Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sedang menyusun Peraturan KPU (PKPU) tentang pilkada dalam kondisi bencana non-alam Covid-19. Akan tetapi, regulasi mengenai ketentuan pelaksanaan tahapan pilkada dengan menyesuaikan standar protokol kesehatan pencegahan penyebaran Covid-19 belum juga diundangkan.

Padahal, KPU sudah memulai kembali tahapan pemilihan serentak di 270 daerah pada Senin (15/6). KPU juga perlu melakukan sosialisasi PKPU kepada jajaran penyelenggara pemilu, peserta pilkada, pemilih, maupun masyarakat umum.

"Sampai hari ini PKPU juga belum diundangkan. Diuji publik oleh KPU secara daring, perlu penyesuaian oleh KPU sebelum diundangkan," kata Fadli.

Sementara itu, jika PKPU pilkada dalam kondisi pandemi Covid-19 terbit, potensi masalah tidak lantas berhenti begitu saja. Misalnya, dalam rancangan PKPU tersebut, terjadi penyesuaian metode pemutakhiran data pemilih dari pilkada sebelumnya.

Saat ini, KPU menerjemahkan ketentuan dalam UU Pilkada ke PKPU bahwa proses pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih dapat dilakukan melalui data RT atau sebutan lainnya. Implementasi pada pemilu sebelumnya dilakukan dengan mendatangi warga satu per satu atau metode sensus.

"Misalnya pendaftaran pemilih itu kan ada mekanisme penyelenggaraan berbasis RT dan RW. Padahal di UU pilkada, sebelumnya melalui proses teknis coklit dari rumah ke rumah, demikian juga aturan UU Pemilu sebelumnya soal pendaftaran pemilih," tutur Fadli.

photo
Kontroversi Pilkada di tengah pandemi Covid-19. - (Berbagai sumber/Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement