REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta agar Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan pidana 10 tahun penjara denda Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan terhadap Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi. Dalam tuntutannya terungkap bahwa perbuatan Nahrawi sudah menjadi rahasia umum di Kementerian Pemuda dan Olahraga.
"Fakta yang terungkap di persidangan ini tentunya sangat memprihatinkan karena ternyata perbuatan permintaan dan/atau penerimaan sejumlah uang yang dilakukan oleh Miftahul Ulum atau Staf Khusus untuk kepentingan Terdakwa ternyata sudah menjadi rahasia umum di Kemenpora," ujar Jaksa Ronald Ferdinand Worotikan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (12/6).
Jaksa menuturkan, bahwa setiap pengajuan proposal bantuan dana hibah oleh KONI Pusat dan/atau setiap kegiatan program olahraga yang dilakukan oleh Kemenpora harus ada fee yang harus diberikan untuk kepentingan Nahrawi selaku Menpora melalui Ulum tau staf khususnya. Salah satunya yakni dari kegiatan Wasping Asian Games dan Program Indonesia Emas (PRIMA).
Perbuatan Nahrawi dilakukan bersama asisten pribadinya, Mftahul Ulum. Nahrawi dan Ulum menerima uang dari eks Sekretaris Jenderal KONI Ending Fuad Hamidy dan eks Bendahara Umum KONI Jhonny E Awuy. Selain suap, Nahrawi juga diyakini menerima gratifikasi mencapai Rp 8.648.435.682. Uang itu juga ditujukan untuk Imam Nahrawi.
Nahrawi disebut menerima uang melalui Ulum terkait proposal dana hibah pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga nasional Asian Games dan Asian Para Games 2018. Usulan dana yang diajukan dalam proposal itu sejumlah Rp 51,5 miliar.
Jaksa menambahkan, bahwa tuntutan pidana ini diharapkan menjadi ajang berbenah dan pembelajaran bagi pihak Kemenpora RI dan KONI Pusat. Sehingga di waktu mendatang, penyaluran bantuan dana hibah untuk kepentingan peningkatan prestasi olah raga nasional dilakukan dengan tepat sasaran, profesional, efektif, efesien dan akuntabilitas, bukan dipergunakan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi pihak-pihak tertentu dengan cara-cara menggadaikan integritas dan profesionalitas.
Seyogyanya, lanjut Jaksa, pihak Kemenpora RI dan KONI Pusat harus sadar bahwa penyaluran bantuan dana hibah tersebut haruslah sejalan dengan NAWACITA dari Presiden RI.
"Yaitu "Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggungjawab untuk mewujudkan tujuan penyelengaraan keolahragaan nasional" dan yang paling utama untuk kepentingan generasi yang akan datang," tegasnya.
Diketahui, selain pidana pokok, Jaksa juga meminta Majelis Hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti kepada negera sejumlah Rp 19.154.203.882. Jika Nahrawi tidak membayar uang pengganti dalam waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh hukum tetap maka harta benda Nahrawi dapat disita oleh Jaksa untuk dilelang guna menutupi uang pengganti tersebut.
"Jika harta benda terdakwa tidak mencukupi maka dipidana dengan pidana penjara selama 3 tahun," ujar Jaksa Ronald.
Masih dalam tuntutan, Jaksa KPK juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik untuk dipilih sebagai pejabat publik selama 5 tahun setelah Nahrawi menjalani pidana pokoknya. Adapun alam tuntutan ini, Jaksa memerhatikan beberapa hal yang memberatkan dan meringankan tuntutan.
Untuk hal yang memberatkan ialah perbuatan terdakwa Nahrawi dinilai telah menghambat perkembangan dan prestasi atlet Indonesia yang diharapkan dapat mengangkat nama bangsa di bidang olahraga, tidak kooperatif dan mengakui terus terang seluruh perbuatan yang dilakukannya dan Imam dinilai tidak menjadi teladan yang baik sebagai pejabat publik. Sedangkan hal yang meringankan tuntutan ialah Nahrawi bersikap sopan selama pemeriksaan di persidangan dan Imam masih memiliki tanggungan keluarga.
Perbuatan Nahrawi dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Selain itu, Pasal 12B ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.