REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nugroho Habibi, Antara
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bogor mulai kesulitan untuk membiayai pasien Covid-19 yang dijamin oleh pemerintah pusat. Penyebabnya, RSUD Kota Bogor telah mengeluarkan baiaya sebesar Rp 6 miliar selama menagani pasien Covid-19.
Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim mengatakan, RSUD telah mengajukan klaim ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Namun, BPJS Kesehatan belum dapat mengganti biaya yang telah dikeluarkan RSUD Kota Bogor.
"Ini kan katanya masih dievaluasi oleh BPJS. Karena BPJS selaku assesor-nya. Tapi ini masih kita lagi perdalam kenapa belum ACC," kata Dedie Saat ditemui di Rumah Dinas Wali Kota Bogor, Jumat (12/6).
Dedie menerangkan, RSUD telah berstatus sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BULD) yang pembiayaannya tak lagi ditanggung Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor. Dengan besaran uang tersebut di tengah pandemi Covid-19, menurut Dedie, RSUD akan kesulitan untuk menjalankan operasi.
"Oleh karena itu kita juga memberikan dukungan-dukungan baik finansial, dukungan peralatan, dukungan pembiayaan dan pengadaan. Itu kita lakukan. Kita menyadari betul situasi ini sulit," jelas dia.
Meskipun demikian, Dedie menilai, RSUD dapat mengkalim besaran biaya tersebut. Hanya saja, penggantian biaya itu masaih dalan proses verifikasi oleh BPJS Kesehatan.
"Saya optimistis mungkin masalah teknis saja. Kan kalo ketentuannya pas saya tanya ke dirut RSUD kan sudah semua. Tetapi masih dalam assesor oleh BPJS. Tapi kita tunggu saja," katanya.
Wakil Direktur Pelayanan RSUD Kota Bogor Edi Darma mengatakan, pihaknya telah mengajukan Rp 6 miliar. Namun, biaya yang telah lolos verifikasi dari BPJS hanya Rp 4,1 miliar.
"Dari itu (Rp 4,1 miliar) baru dibayar oleh Kementrian Kesehatan sebesar membayar Rp 1 miliar," kata Edi.
Edi menerangkan, sisa Rp 1,9 miliar masih terganjal permasalahan administratif. Pasalnya, tanggal masuk dan keluar pasien Covid-19 yang dirawat di RSUD ada yang tak sesuai dengan laporan.
Edi memerinci, tanggungan biaya itu berasal dari 200 pasien terkait Covid-19 yakni pasien dalam perawatan (PDP) dan pasien terkonfirmasi positif. Sementara, orang dalam pemantauan (ODP) tak ditanggung pemerintah keculai ODP di atas 60 tahun dan memiliki penyakit penyerta. Karena itu, dia menyebut, ODP disarankan untuk melakukan isolasi mendiri.
"ODP tidak dirawat di RSUD dan hanya disarankan melakukan isolasi mandiri," jelas dia.
Edi menyebut klaim biaya itu sangat bergantung pada hasil verifikasi BPJS Kesehatan. Sebab, dia mengatakan, terdapat pengajuan dari RS yang menjadi rujukan Covid-19, klaimnya ditolak.
“Ada memang yang ditolak, berkas klaim yang diajukan dikembalikan,” katanya.
Edi mempertanyakan, skema pembiayaan bila klaim ditolak oleh BPJS Kesehatan. Dia mengaku, regulasi yang ditetapkan belum membahas beban biaya tersebut. “Apakah itu ditanggung pemerintah daerah atau jadi beban RSUD yang tak lagi dibiayai pemda,” katanya.
Selain itu, Edi mengaku, masih belum memahami secara pasti aturan surat Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) No. HK.01.07/MENKES/238/2020 tentang Petunjuk Teknis Klaim Penggantian Biaya Perawatan Pasien Penyakit Infeksi Emerging Tertentu Bagi Rumah Sakit Yang Menyelenggarakan Pelayanan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Sebab, pembiayaan pendukung pasien yang ditunggun belum diatur secara rinci.
“Misalnya kita wajib melakukan PCR, namun belum ada aturannya cukup satu kali saja atau harus dua kali,” jelas dia.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor Sri Nowo Retno menjelaskan, setidaknya ada delapan RS yang menjadi rujukan Covid-19 di Kota Bogor. Dari delapan RS rujukan itu, mayoritas belum memperoleh ganti pembiayaan pasien Covid-19 dari Kemenkes.
“RS sudah merawat pasien sejak kasus pertama muncul di Kota Bogor pada 16 Maret lalu. Kemudian saat puncaknya di tanggal 1 hingga 2 April, mereka mulai menanyakan kapan klaim dibayarkan,” kata Retno.
Mulanya, Retno mengatakan, Dinkes Kota Bogor menganggarkan Rp 3 miliar untuk membiayai penanganan ODP. Biaya itu sebagai antisipasi sebelum adanya petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) dari aturan Kemenkes.
“Ketika juknis sudah ada pada pekan kedua April, klaim kan jelas. Sehingga pada Mei lalu Dinkes hanya menganggarkan Rp100 juta,” tuturnya.
Mengenai klaim yang ditolak oleh BPJS Kesehatan, Retno mengaku masih melakukan upaya koordinasi dengan Pemerintah Pusat dan Jawa Barat. Namun, bila tak ada yang menanggung, dia mengaku masih mempertimbangkan untuk menggunakan APBD Dinkes.
"Itu masih dipertimbangkan ya. Kita akan koordinasikan dulu," katanya.
Kasus baru
Wali Kota Bogor Bima Arya pada Rabu (10/6) lalu menyampaikan kabar mengejutkan pada persiapan normal baru, yakni adanya tambahan kasus positif Covid-19 sebanyak 16 kasus di Kota Bogor. Ia juga menyebutkan, bahwa rumah sakit di Kota Bogor menjadi tempat penyebaran baru kasus Covid-19.
"Hari ini saya menyampaikan kabar, bahwa ada tambahan 16 kasus positif Covid-19. Ini adalah kasus terbanyak selama pandemi COVID-19 di Kota Bogor," kata Bima.
Bima Arya menjelaskan, selama sepekan pada 24-31 Mei 2020 data Covid-19 sudah stagnan, artinya tidak ada tambahan kasus positif Covid-19 selama sepekan. Pada tiga hari kemudian, ada tambahan dua kasus positif. Kondisi ini bertahan selama tiga hari. Kemudian, ada tambahan dua kasus positif lagi, hingga pada Rabu bertambah 16 kasus baru.
Menurut Bima, tambahan kasus positif Covid-19 yang sangat tinggi ini, setelah diurai dan dilacak, sebagian besar potensi penularannya di rumah sakit. Yakni rumah sakit tempat perawatan pasien positif Covid-19.
"Ada tiga rumah sakit yang menjadi rujukan pasien Covid-19 yang diduga menjadi potensi tempat penularan dari 16 kasus positif ini," katanya.
Per Rabu (10/6), pasien Covid-19 di Kota Bogor berjumlah 135 orang. Namun, jumlah kesmbuhan sebanyak 61 orang, 59 masih dalam perawatan, dan 15 orang meninggal dunia.