REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon mengatakan pendapatnya terkait prospek demokrasi Indonesia lewat pembahasan RUU Pemilu. Dalam pembahasannya terdapat ironi, bahwa RUU tersebut terkesan untuk memfasilitasi kepentingan sejumlah partai politik.
Padahal menurutnya, undang-undang terkait pemilu harus bersifat berkelanjutan, setidaknya 15 sampai 20 tahun. Hal itu agar sistem demokrasi Indonesia dapat tersusun dengan baik. "Jadi kita kembali pada kepentingan jangka pendek parpol. Kita sebetulnya tidak mau bangun demokrasi yang benar-benar subtantif," ujar Fadli dalam sebuah diskusi daring, Selasa (9/6).
Jika hal ini terus terjadi, demokrasi di Indonesia hanya akan bersifat prosedural. Tanpa diikuti oleh penerapannya yang sesuai, karena setiap lima tahu undang-undang tentang pemilu selalu direvisi untuk menguntungkan pihak tertentu.
"Sehingga akhirnya demokrasi kita menjadi demokrasi yang dikendalikan oleh cukong. Sebetulnya kalau mau jujur bicara, baik itu untuk pilpres maupun lain-lain," katanya.
Pria yang kini merupakan Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR itu mengkritik bahwa demokrasi saat ini terkesan disponsori oleh oknum-oknum. Di mana akhirnya, justru menimbulkan oligarki di kursi kekuasaan nantinya.
"Kita sekarang ini demokrasi bukan hanya prosedural, tetapi mungkin juga corrupted democracy yang membuat demokrasi kita yang mahal," ujar mantan Wakil Ketua DPR itu.
Maka dari itu, ia berharap pembahasan RUU Pemilu di Komisi II DPR tal hanya menjadi alat bagi kepentingan segelintir partai politik. Tetapi menjadi landasan demokrasi, hingga 10 sampai 20 tahun mendatang.
"Menurut saya bukan di situ seharusnya pembicaraan demokrasi kita. Tentu harus melalui proses filosinya dulu apa, dasarnya ini apa, kita mau kemanakan demokrasi kita baru bicara sistem," katanya.