Selasa 09 Jun 2020 15:57 WIB

AII: Intimidasi Meluas ke Aktivis Penuntasan Kasus Papua

AII mencatat setidaknya masih ada 44 tahanan hati nurani Papua. 

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Agus Yulianto
Direktur Amnesty International Indonesia - Usman Hamid
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Direktur Amnesty International Indonesia - Usman Hamid

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi dan ungkapan rasisme masih banyak terjadi di Tanah Papua maupun terhadap warga Papua. Tindakan yang berlebihan dalam pengamanan dan penangkapan sewenang-wenang polisi Indonesia juga masih kerap terjadi di Papua.

Demikian dikatakan Amnesty International Indonesia (AII). Bahkan, katanya lagi, penangkapan sewenang-wenang itu membuat banyak orang Papua mendekam di penjara dan menjadi tahanan hati nurani. 

Hingga 8 Juni 2020, AII mencatat setidaknya masih ada 44 tahanan hati nurani Papua yang mendekam di balik jeruji besi. Semuanya diancam atas tuduhan makar. Padahal, mereka hanya terlibat dalam aksi protes damai dan tidak melakukan tindakan kriminal apapun.

“Pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi, ungkapan rasisme, tindakan yang berlebihan oleh polisi dalam melaksanakan operasi pengamanan masih banyak terjadi di tanah Papua dan terhadap warga Papua yang berada di wilayah lain di Indonesia,” ujar Direktur Eksekutif AII, Usman Hamid, kepada Republika, Selasa (9/6).

Usman mengatakan, sudah banyak instrumen hukum yang dapat dijadikan acuan untuk menjamin hak asasi manusia (HAM). Namun dalam praktiknya, masih banyak laporan-laporan yang masuk kepadanya tentang pelanggaran hak untuk berkumpul dan berekspresi secara damai.

“Belakangan diskriminasi dan intimidasi ini meluas terhadap para aktivis HAM yang menuntut penuntasan kasus Papua," ujar dia.

Dia memberikan contoh kasus, yakni pada pekan lalu ketika sidang PTUN pemblokiran internet disiarkan secara virtual. Ada beberapa akun yang bergabung memakai foto profil tak senonoh dan membuat kebisingan selama sidang. 

Hal tersebut, kata dia, mengganggu tim pembela kebebasan pers yang mengikuti jalannya sidang. “Bentuk lain adalah munculnya desakan untuk membatalkan diskusi soal Papua. Diskusi yang sedianya diselenggarakan BEM UI Sabtu lalu misalnya. Karena pembicara dianggap tidak kompeten, maka ada desakan agar diskusi itu dibatalkan,” ucap Usman.

Sementara itu, diksusi virtual mengenai laporan Amnesty International Indonesia ke Komite HAM PBB tentang lima masalah HAM di Papua pada Jumat lalu juga mendapat disrupsi serupa. Menurut Usman, tiga pembicara diskusi mendapat rentetan panggilan secara bersamaan dengan identitas penelepon dari luar Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement