Senin 08 Jun 2020 18:42 WIB

Polemik PPDB di Tengah Pandemi

Pemerintah harus membuat panduan jelas tentang PPDB dan proses belajarnya.

Calon peserta didik mencari informasi terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SMAN 3 Bandung, Jalan Belitung, Kota Bandung, Senin (8/6). Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA, SMK dan SLB di Jawa Barat digelar secara daring dalam dua tahap yakni 8 - 12 Juni dan 25 Juni - 1 Juli
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Calon peserta didik mencari informasi terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SMAN 3 Bandung, Jalan Belitung, Kota Bandung, Senin (8/6). Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA, SMK dan SLB di Jawa Barat digelar secara daring dalam dua tahap yakni 8 - 12 Juni dan 25 Juni - 1 Juli

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Inas Widyanuratikah, Ali Mansur, Antara

Polemik seputar Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) masih terjadi. Apalagi sebenarnya di Tanah Air kasus pandemi Covid-19 belum juga menurun angkanya.

Baca Juga

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima tujuh kasus pengaduan terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Pengaduan berasal dari DKI Jakarta sebanyak lima kasus, Banten sebanyak satu kasus, dan Jawa Barat satu kasus. Pengaduan yang diterima KPAI tercatat dimulai pada 27 Mei 2020 hingga 5 Juni 2020.

"Ketiga wilayah ini termasuk yang terdepan dalam membuat juknis (petunjuk teknis) dan pembagian zonasi," kata Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Retno Listyarti, Senin (8/6).

Pengaduan terkait PPDB berupa masalah teknis sebanyak empat kasus. Masalah ini misalnya adalah pencatatan data sekolah asal. Retno mengatakan, pengaduan teknis semacam ini merupakan kewenangan Dinas Pendidikan setempat.

Selain itu, terdapat tiga pengaduan lain terkait kebijakan yang dianggap tidak adil bagi anak-anak. Ketidakadilan yang pertama adalah di PPDB zonasi DKI Jakarta, hanya 40 persen padahal menurut Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 Tentang PPDB, minimal untuk zonasi adalah 50 persen.

Pengaduan lain di DKI Jakarta juga berkaitan dengan indikator seleksi berupa usia. Apabila usia menjadi indikator seleksi, orang tua murid khawatir anaknya yang masih tergolong muda tidak bisa mendaftar ke jenjang SMA.

"Anak pengadu mau mendaftar ke jenjang SMA dengan usia 14 tahun. Orang tua pengadu khawatir anaknya tidak diterima di sekolah negeri karena usianya masih terlalu muda. Padahal secara ekonomi keluarga pengadu mengalami kesulitan kalau harus bersekolah di SMA swasta," kata Retno.

Selain itu, lanjut Retno, ada satu keluarga inti beranggotakan empat orang yang sedang menjalani isolasi di RS Wisma Atlet. Mereka kebingungan mendaftarkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi karena sekeluarga sedang diisolasi.

"Di mana seluruh dokumen anak ada di rumah dan bingung dengan sistem daring PPDB DKI Jakarta. Kasus yang terakhir ini, yang mengadukan adalah tetangganya," kata dia lagi.

Terkait PPDB, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi atau yang kerap disapa Kak Seto menyarankan pemerintah dan pemangku kepentingan dunia pendidikan agar menerapkan kebijakan normal baru secara bertahap pada anak. Ia merekomendasikan agar anak yang lebih besar lebih dulu menjalani era new normal.

"Jadi mulai dari dewasa dulu. Anak SMA diharapkan lebih mampu mengikuti protokol kesehatan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19," kata dia saat dihubungi di Jakarta, Senin.

Apabila kebijakan tersebut bisa berjalan dengan baik, maka langkah selanjutnya dapat diterapkan secara perlahan untuk tingkatan pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) sederajat dan selanjutnya baru jenjang Sekolah Dasar (SD). Hal itu bertujuan agar pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya mengetahui anak-anak bisa beradaptasi dengan kebijakan normal baru.

Khusus bagi anak-anak pendidikan usia dini (PAUD), psikolog anak kelahiran Klaten 28 Agustus 1951 itu merekomendasikan agar tidak diberlakukan new normal dulu. Langkah itu penting demi mencegah penyebaran dan penularan virus corona jenis baru atau Covid-19.

"Anak-anak PAUD jangan dulu, apalagi mereka harus diantar oleh orangtua dan sebagainya sehingga lebih rentan," ujar dia.

Kak Seto mengungkapkan, orang tua atau wali murid juga harus menyadari tahun ajaran baru bukan berarti anak langsung masuk sekolah. Ia tak ingin orang tua atau wali murid di Tanah Air bingung dan panik sehingga mengartikan tahun ajaran baru sama dengan seluruh anak langsung masuk ke sekolah.

"Intinya, masuk sekolah itu melihat situasi dan juga berdasarkan koordinasi Gugus Tugas Covid-19, Ikatan Dokter Anak Indonesia, dan pemangku lainnya," katanya.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai, pelaksanaan PPDB di masa pandemi Covid-19 terlalu dipaksakan. Karena hanya untuk mengikuti kalender pendidikan, tanpa mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi yang mendera masyarakat Indonesia, khususnya rakyat kecil.

"Untuk makan saja, mereka tak tercukupi, apalagi untuk bayar pendaftaran sekolah, uang gedung, dan juga kuota internet untuk mengawal proses PPDB. Ini sungguh kami menilai sebagai kebijakan yang tidak manusiawi," keluh Ubaid Matraji.

Setidaknya ada beberapa alasan kenapa masyarakat tidak setuju dengan PPDB di bulan ini dan mereka juga menolak kalender pendidikan akan dimulai Juli 2020. Di antaranya, Orang tua terkendala ekonomi karena terdampak Covid-19.

Biaya SPP semester kemarin saja banyak yang menunggak. Apalagi harus bayar untuk PPDB.

"Banyak uang yang harus dikeluarkan oleh orang tua saat PPDB. Karenanya kenyataannya proses PPDB tetap berbayar, apalagi di jenjang SMA/SMK/MA, dan juga sekolah-sekolah swasta. Ini sangat memberatkan orang tua," kata Ubaid.

Kemudian, PPDB daring tidak akan berjalan efektif. Ubaid menjelaskan, pada situasi normal saja, seperti pada tahun- sebelumnya, PPDB daring menuai banyak masalah, apalagi sekarang situasi pandemi, tentu sangat tidak efektif.

Tahun lalu, PPDB daring saja harus ngantri datang ke sekolah dari subuh untuk bisa masukkan data, bagaimana dengan sekarang? Kemungkinan besar kekacauan akan kembali terulang.

"Khawatir terpapar Covid karena pandemi belum usai. Ini dihawatirkan oleh orang tua karena anak-anaknya berpeluang besar terpapar Covid-19. Banyak sekolah yang belum siap menerapkan protokol Covid-19 karena keterbatasan sarana dan juga sumber daya," terang Ubaid.

Alasan selanjutnya, pembelajaran daring berjalan tidak optimal. Selama pandemi, pemebelajaran dilakukan di rumah dengan menggunakan cara daring. Ini berjalan tidak efektif, karena keterbatasan sarana dan juga akses.

Begitu juga dengan Kesiapan guru dan tenaga kependidikan. Banyak di antara mereka juga terkendala dalam memanfaatkan teknologi sebagai media pembelajaran.

"Tentu saja jika ini dipaksakan, pembelajaran tidak akan optimal," tegas Ubaid.

Oleh karena itu, menurut Ubaid, JPPI menghimbau dan memberikan rekomendasi ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendibud) agar melakukan beberapa langkah. Antaranya,  menunda PPDB dan undur tahun ajaran baru. Menunda proses PPDB dan mengundur tahun ajaran baru sampai pandemi usai, atau paling cepat Januari 2021.

"Ini harus dilakukan supaya pembukaan sekolah tidak sekedar kembali dibuka, tapi segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan matang," ungkapnya.

Kemudian juga menggratiskan biaya sekolah bagi anak yang terdampak Covid-19. Banyak orang tua yang terdampak secara ekonomi, mereka harus mendapatkan kebijakan afirmasi supaya ananknya tidak putus sekolah. Ini peran yang perlu dukungan pemerintah daerah. Serta terbitkan kurikulum pandemi. Karena selama pandemi, pemerintah harus mengoptimalkan pembelajaran via daring dan juga non-daring bagi masyarakat yang tidak punya akses internet.

"Supaya optimal, pemerintah harus menyiapakan kurikulum dalam situasi pandemi. Jadi, bukan seperti sekarang yang sedang berjalan, kurikulum normal dipraktikkan di kala pandemi,"ungkapnya.

Selanjutnya, melakukan capacity building bagi para guru dan orang tua. Dalam situasi pandemi, peran guru dan orang tua sangat penting dalam proses pembelajaran.

Banyak guru dan orang tua yang belum siap mendampingi anak belajar dalam situsi pandemi, mereka harus dibekali dengan berbagai kemampuan dan juga keterampilan secara kreatif dan inovatif.

Terakhir, sambung Ubaid, terapkan protokol kesehatan di sekolah. Sambil menunggu pandemi usai, sekolah dan institusi pendidikan lain perlu mempersiapkan diri untuk dapat menerapkan protokol kesehatan. "Ini langkah pencegahan supaya tidak terjadi penyebaran Covid-19 di sekolah jika sewaktu-waktu sekolah dibuka kembali," tutup Ubaid.

Ikatan Guru Indonesia (IGI) mengusulkan metode yang bisa jadi solusi di era new normal. Blended learning dianggap bisa diterapkan di Tanah Air.

Ketua Umum IGI, Muhammad Ramli Rahim mengatakan, blended learning bisa menjadi solusi minimnya jam tatap muka. "Jika blended learning dijalankan, maka sangat memungkinkan siswa cukup dua minggu sekali ke sekolah, dan cukup empat jam di sekolah dengan sistem guru piket," kata Ramli.

Siswa bisa datang ke sekolah untuk bertemu guru mata pelajarannya selama 10-15 menit. Pertemuan ini dilakukan untuk konsultasi kesulitan-kesulitan yang dialami selama satu pekan menjalani pembelajaran daring.

Ramli menilai, seluruh materi pelajaran guru seharusnya sudah bisa diakses anak didik melalui aplikasi yang dibuat sendiri oleh gurunya sebelum Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Sehingga, pada saat PJJ dimulai guru lebih mudah menyampaikan materinya.

"Dan cukup 20 menit untuk satu jam pelajaran yang selama ini 35 menit untuk SD, 40 menit untuk SMP, dan 45 menit untuk SMA," kata Ramli.

Penggabungan daring dan luring ini, ditambah penyiapan materi lebih awal, Ramli menilai pembelajaran akan jauh lebih efektif. Bahkan, jika dilakukan dengan benar akan bsia lebih efektif dibandingkan era normal.

Ramli menuturkan, sebenarnya IGI meminta pedoman seperti ini sebagai acuan PJJ yang berkualitas dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sebab, selama ini IGI menilai Kemendikbud terkesan memberi keleluasaan tanpa pedoman.

"Kemendikbud memang sudah mengeluarkan edaran terkait pedoman pembelajaran jarak jauh, tapi lebih diarahkan nonton TV, radio, layanan pendidikan berbayar dan layanan pendidikan gratis, bukan bagaimana guru menjalankan PJJ dengan baik," kata dia lagi.   

Pekan lalu, Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat (BKHM) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Evy Mulyani menegaskan tahun ajaran baru memang dimulai pada pertengahan Juli 2020. Namun, bukan berarti pada tanggal tersebut pembelajaran tatap muka mulai diberlakukan.

"Kita harus membedakan, antara tanggal 13 Juli itu adalah tanggal mulainya tahun ajaran baru 2020/2021. Tetapi, tidak sama dengan kegiatan belajar tatap muka," kata Evy, dikonfirmasi Republika, Kamis (4/6).

Sebelumnya, Kemendikbud melalui Plt. Diretkur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (PAUD Dikdasmen), Hamid Muhammad mengatakan metode belajar akan tergantung kondisi di daerah. Pembelajaran untuk sekolah yang berada di zona merah dan zona kuning akan berbeda dengan sekolah yang berada di zona hijau.

Hamid menuturkan, metode pembelajaran yang diterapkan pada sekolah di zona merah dan zona kuning masih menggunakan sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ). Sistem pembelajaran ini sama seperti yang dilakukan sejumlah sekolah selama masa pandemi sejak Maret 2020.

Adapun keputusan zona merah, zona kuning, maupun zona hijau merupakan keputusan dari Gugus Tugas Pencegahan Covid-19. "Jadi, yang membuka sekolah bukan Kemendikbud. Kemendikbud hanya memberikan syarat-syarat dan prosedur sekolah seperti apa yang boleh dibuka," kata Hamid menambahkan.

Ia juga mengatakan, keputusan prosedur sekolah boleh dibuka kembali masih terus dikoordinasikan. Menurut dia, Kemendikbud bersama pemangku kepentingan lain mendiskusikan hal ini termasuk Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).

photo
New Normal di Sekolah - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement