Ahad 07 Jun 2020 09:51 WIB

Ambiguitas New Normal dan Limitasi HAM

Agama dan sistem berkeyakinan yang bersifat ideologis seringkali disalahgunakan.

Dian Andriasari, Dosen Fakultas Hukum Unisba, Ph.D Candidate UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Foto:

Praktik di Indonesia saat ini, pada masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB), yang salah satu eksesnya adalah pembatasan kegiatan keagamaan. Perbedaan perspektif yang dilandasi oleh cara keberagamaan seseorang atau sekelompok orang membuat pembatasan inilah yang menjadi perdebatan dan konflik. Sebagai contoh di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Depok ketika bulan ramadhan lalu dan menjadi kegelisahan hingga hari ini.  

Menyoal pembatasan-pembatasan yang diperbolehkan oleh karena alasan kesehatan publik, terutama dimaksudkan untuk mengizinkan intervensi negara dalam mencegah wabah atau penyakit-penyakit lain. Ketika tindakan negara yang merupakan keharusan, seperti tugas vaksinasi, diperlukan untuk tindakan kesehatan publik –dalam hal ini kesehatan orang-orang lain– keyakinan keagamaan yang berlawanan dengan tindakan tersebut tentu saja dapat dibatasi.

Sebagai contoh sikap Komisi HAM eropa menegaskan, dalam perkara X v. The Netherlands, bahwa ditetapkannya persyaratan oleh hukum Belanda supaya perternak sapi perah wajib menjadi anggota program kesehatan dalam rangka mencegah tuberkolosis pada ternak. Hal ini menjustifikasi –Berdasarkan pertimbangan kesehatan publik– tindakan hukum yang dilakukan terhadap seorang petani Protestan Belanda yang karena alasan keagamaan menolak untuk mengikuti program kesehatan wajib pemerintah untuk ternak-ternaknya. Hal yang sama dibenarkan jika manifestasi suatu agama tertentu melibatkan kegiatankegiatan yang membahayakan kesehatan-kesehatan anggotanya, dan mungkin juga pihak lain.

Dalam kasus Assembly of The Crurch of the Universe v. Canada, yang praktik-praktik keagamaannya meliputi pula pemeliharaan, penanaman, pemilikan, distribusi dan pemujaan terhadap marijuana (“pohon kehidupan Tuhan” [God’s tree of life], komite HAM harus memutuskan apakah penuntutan pidana terhadap anggota sekte ini berdasarkan Undang-undang pengawasan Narkotika Kanada merupakan suatu pelanggaran atas kebebasan dalam memanifestasikan agama mereka.  Alhasil komite menyatakan gugatan itu tidak dapat diterima karena “kepercayaan yang terutama atau hanya terdiri dari peribadatan dan distribusi obat-obatan terlarang tidak dapat dipandang sebagai bidang cakupan Pasal 18 Kovenan”. (Comm.No.570.1993(Komite HAM PBB,8 April 1994; kep. Penolakan).

Namun sebagaimana klausul “keselamatan publik” orang bisa mempertanyakan apakah negara juga mempunyai hak untuk melindungi kesehatan individual terhadap keyakinan agamanya sendiri? Adalah Heiner Bielefeldt, mantan pelapor khusus PBB untuk kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB), ia menyatakan bahwa isu pembatasan amat penting karena ia memiliki signifikansi praktis yang nyata.

Di sini retorika “kebebasan bukan tanpa batas” berlaku, akan tetapi menurut Bielefeldt, perlu diingat bahwa pembatasan pun ada batas-batasnya. Poin yang paling penting bukanlah adanya kebutuhan untuk membatasi itu sendiri, namun dasar-dasar dan syarat-syarat pembatasan yang diperbolehkan. 

Dalam konteks hak KBB di Indonesia, mustahilkah menerapkan itu? Perubahan sosial takkan terjadi sekaligus, ia terjadi kurun demi kurun waktu. Pandemi ini adalah bagian dari perubahan sosial itu. Ia adalah persambungan dari peristiwa demi peristiwa sosial. 

Mungkin masyarakat di Indonesia hari ini mafhum, pembatasan dilakukan sekalipun itu terjadi pada hak keagamaan mereka. Akan tetapi mereka bisa saja marah dan bertanya pada negara, karena di sudut lain ruang-ruang masih terbuka dan disesaki manusia, yang sudah pasti virus yang paling ditakuti kini sedang memilih korban berikutnya. Di sinilah pembatasan pada masa pandemi begitu ironi, inikah kenormalan baru?

*) Dosen Fakultas Hukum Unisba, Ph.D Candidate UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement