Sabtu 06 Jun 2020 14:06 WIB
Komunis

Kisah Dakwah Masjid Jogokariyan yang Dahulu Kampung Komunis

Cermin rekonsilasi sejati antara kader PKI dan Islam terjadi di Masjid Jogokariyan

Umat muslim menunaikan Shalat Iedul Fitri 1441 H di Masjid Jogokariyan, Yogyakarta, Ahad (24/5). Imbas wabah Covid19 Shalat Iedul Fitri  diadakan di Masjid Jogokariyan dari sebelumnya di lapangan
Foto:

Masjid biru itu kini berdiri kokoh di kampung Jogokariyan. Bila berkunjung ke sana, silakan rasakan ‘senshasi’ shalat subuhnya yang penuh meluber hingga ke luar-luar.

Tapi setengah abad silam, masjid Jogokariyan yang kini mampu menampung sekira seribu jamaah, dulunya hanyalah sepetak langgar berukuran 9×15 meter berlantai satu. Bukan hanya itu, masjid yang berdiri di tanah wakaf ini dibangun di kampung yang dulunya dikuasai orang-orang Merah, atau yang dikenal Komunis-PKI.

Demikian yang dikisahkan biro Rumah Tangga Masjid Jogokariyan Sudi Wahyono, “Dulu, latar belakang di sini basisnya PKI, masyarakat banyak yang tergabung dalam Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) PKI,” ucap Sudi mengawali ceritanya.

“Kemudian ada juragan yang juga tokoh-tokoh Muhammadiyah cabang Karangkajen (dari kampung sebelah) yang melihat di sini banyak pekerja pengusaha batik. Niat awalnya, agar para pekerja itu bisa shalat berjamaah di masjid,” lanjut Sudi.

Sudi memaparkan beberapa ulama yang terlibat menggagas Masjid Jogokariyan.Di antaranya ada H Zarkoni, Amin Sa’id, Dul Manan, yang mudanya Muhammad Chamid.

H. M. Chamid. Sumber foto: www.alhikmah.co

Sudi melanjutkan ceritanya, pendirian masjid memang termasuk mudah, tapi saat perkembangan dakwahnya yang ada perlawanan. Seringkali orang kampung ini menyalakan petasan, pokoknya mengganggu ketika kita ada kegiatan.Tak jarang gangguannya sampai ke tingkat adu fisik.

Bahkan, imbuh Sudi, Kesenian Lekra begitu gencar mengampanyekan ideologi komunisnya.Sampai-sampai menggelar Pagelaran Ketoprak bertema Matine Gusti Allah (Matinya Allah Swt).

Kisah ini dibenarkan tokoh masyarakat yang juga saksi sejarah perjuangan Islam di era 1966, H. Muhammad Chamid.  “Masjid ini resmi dibangun tahun 1967 di atas tanah wakaf Bapak Jazuri. Situasi Jogokariyan saat itu, memang termasuk kampung merah, dulu banyak PKI,” tegas bapak berusia 71 ini membenarkan kisah yang dipaparkan Sudi Wahyono.

“Kita masih minoritas. Islamnya juga banyak yang Islam abangan, tidak shalat, orang-orang mabuk sambil berjudi pemandangan biasa saat itu,” lanjutnya, melengkapi.

Dan karena basis ‘orang-orang Merah’, perkembangan dakwah di kawasan Jogokariyan ini tak semudah membalikan telapak tangan. “Mereka sering mengganggu aktivitas ibadah kita. Misalnya,ya itu tadi ketika shalat dibunyikan mercon.Kita memang banyak dimusuhi. Akan tetapi, tak menyurutkan semangat teman-teman (angkatanya) untuk berdakwah,” ungkap H. Chamid mengenang.

Chamid bercerita kembali bila saat itu, pemuda-pemuda muslim saat itu masih sedikit, sekira lima orang. Mereka dengan getol berdakwah khususnya mengajak anak-anak untuk rajin datang ke masjid.Lewat anak-anak yang dibina inilah, satu persatu orang tuanya tersadarkan dan mau datang ke masjid.Bahkan, imbuhnya, sekarang banyak mantan PKI yang menjadi muadzin, shalat berjamaahnya tidak ketinggalan.

  • Keterangan foto: Penangkapan anggota PKI di  sekitar gunung Merapi-Merbabu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement