Sabtu 06 Jun 2020 12:40 WIB

Rancangan Perpres TNI Atasi Terorisme Dinilai Membingungkan

Operasi militer TNI atasi terorisme sudah di atur UU No 34/2004.

Operasi militer TNI atasi terorisme sudah di atur UU No 34/2004. Ilustrasi simulasi Latihan Pembebasan Sandera Penanggulangan Teroris Pasukan Khusus TNI tahun 2014 di Mabes TNI Cilangkap.
Foto: Pupsen TNI
Operasi militer TNI atasi terorisme sudah di atur UU No 34/2004. Ilustrasi simulasi Latihan Pembebasan Sandera Penanggulangan Teroris Pasukan Khusus TNI tahun 2014 di Mabes TNI Cilangkap.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) tentang Tugas Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme, sebagai pelaksanaan dari ketentuan pasal 43i UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Perpu No. 1 Tahun 2002, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang dinilai membingungkan dan penuh muatan politik.

Hal itu disampaikan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Salestinus. Dia mengatakan peran TNI dalam melalukan operasi militer selain perang antara lain dalam mengatasi penanggulangan terorisme telah diatur dalam UU Nomor 34/2004 tentan TNI. 

Baca Juga

Hanya saja peran tersebut selama nyaris terdengar di mana pemberantasan terorisme lebih banyak dilakukan Polri di bawah payung UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 

“Selama ini peran TNI dalam mengatasi aksi terorisme tidak diatur secara lebih jelas dan komprehensif baik melalui UU TNI atau revisi UU TNI,” katanya di Jakarta, Sabtu (6/6).

Petrus mengatakan TNI sebagai alat pertahanan negara memang dimungkinkan untuk terlibat dalam fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan, yang dilakukan dengan operasi militer selain perang,  termasuk dalam mengatasi aksi terorisme. 

Hanya saja sangat disayangkan jika peran tersebut dipayungi sebuah Perpres sebagai kebijakan dan keputusan politik negara guna memenuhi ketentuan pasal 43i ayat Undang-Undang No. 5 Tahun 2018, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang berada pada bagian hilir. 

Dia menjelaskan, dari aspek ilmu perundang-undangan, hal ihwal tindakan hukum berupa penangkalan, penindakan, dan pemulihan oleh TNI tanpa diperinci bagaimana seharusnya fungsi itu dilakukan, batasan-batasan operasionalnya, syarat-syarat formil dan materilnya pelaksanaannya, tidak boleh langsung dengan Perpres tetapi harus diatur terlebih dahulu dengan undang-undang. 

“Apalagi UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI belum mengatur secara memadai fungsi TNI untuk Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan mengatasi aksi terorisme,” ujar dia.

photo
Ilustrasi Defile pasukan TNI. - (Republika/Bowo Pribadi)

Dia menegaskan menarik TNI dalam mengatasi aksi terorisme tanpa memperjelas secara terukur fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan melalui revisi UU TNI, hal itu justru tidak cukup memberi legitimasi terhadap fungsi TNI bahkan mereduksi.  

Karena itu, menurut dia, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly tidak boleh terjebak dalam cara berpikir praktis dan pragmatis ketika menggunakan wewenang membuat kebijakan dan keputusan politik negara, melalui RPerpres. Dia menjelaskan, Pasal 3 s/d pasal 12 yang mengatur peran TNI isinya mengambang tidak punya bobot filosofis, sosiologis dan yuridis, karena itu DPR RI sebaiknya kembalikan RPerpres dimaksud dan dorong agar segera revisi UU TNI terlebih dahulu agar garis regulasinya jelas dan proporsional  mana bagian hulu mana bagian hilir. 

Petrus menilai sebagai sebuah regulasi organik dari Pasal 43i UU No. 5 Tahun 2018, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, maka RPerpres mubazir dan tidak menjamin bekerjanya fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan aksi terorisme. “Bahkan RPepres tersebut berpotensi menimbulkan overlaping dalam penggunaan wewenang antara TNI dan Polri dalam mengatasi aksi terorisme,” kata dia. 

Petrus mengingatkan fungsi TNI harus jauh lebih kuat dari perkembangan terorisme dan ancaman global yang semakin mengkhawatirkan, oleh karena itu TNI harus mengoreksi keputusan politik negara berupa Perpres yang rancangannya sudah dibuat Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna Laoly, selain karena isinya tidak memetakan secara tegas dan terperinci mana tugas yang menjadi domain TNI dan mana yang menjadi domain Polri, juga TNI belum punya hukum acaranya. “Ini jelas Politiking dan membingungkan,” sebut dia.  

Terlebih-lebih, kata Petrus, karena baik TNI maupun Polri dua-duanya memiliki fungsi penangkalan, penindakan dan pemulihan dalam lingkup wilayah yang berbeda yaitu TNI di hulu dan Polri di hilir tetapi di dalam RPerpres tidak dirumuskan batasan fungsi TNI untuk penangkalan, penindakan, dan pemulihan. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement