REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai Peraturan Presiden (Perpres) Pelibatan TNI dalam Menangani Terorisme memiliki banyak sisi negatif ketimbang positif. Peran TNI dalam fungsi penangkalan dan penindakan akan amat mengubah wajah penanggulangan terorisme di dalam negeri.
"Sisi negatifnya? Banyak. Peran serta TNI yang cukup luas dan kuat dalam fungsi penangkalan dan penindakan akan banyak mengubah wajah penanggulangan terorisme di dalam negeri," ujar Fahmi melalui pesan singkat, Selasa (19/5).
Fahmi menerangkan, upaya mengatasi aksi terorisme di dalam negeri selama ini berbasis penegakan hukum. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai penjuru dalam upaya pencegahan dan pemulihan, sementara Polri sebagai penjuru dalam upaya penindakan.
"Perpres malah mengatur, dalam mengatasi aksi terorisme, TNI melaksanakan fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan yang dilaksanakan dengan operasi intelijen, teritorial, operasi informasi dan bentuk-bentuk operasi lainnya," jelas Fahmi.
Operasi dalam fungsi penangkalan yang akan dijalankan oleh Komando Operasi Khusus (Koopsus) TNI itu, kata dia, tak diatur sama sekali soal bagaimana hubungannya dengan BNPT, Polri dan lembaga-lembaga lain. Tidak jelas antara akan berkoordinasi ataukah subordinasi.
"Tak diatur, ya, berarti bisa berjalan sendiri, dengan inisiatif sendiri, dan tentu saja mengandung potensi pelanggaran hak-hak sipil yang sangat besar," ungkapnya.
Ia menerangkan hal negatif lainnya terkait dengan penindakan. Menurut Fahmi, meski penggunaannya disebut harus berdasar perintah presiden, perpres itu menentukan bentuk-bentuk aksi teror di mana TNI dapat mengerahkan kekuatannya.
Hal yang menjadi masalah, yakni ada sejumlah bentuk aksi, terutama yang terjadi di dalam negeri, yang berpotensi memunculkan konflik sektoral serta melanggar HAM dan hukum acara pidana. "Itu berpotensi memunculkan konflik sektoral dengan Polri dan semakin mengaburkan peran dan fungsi BNPT sebagai leading sektor penanggulangan terorisme, selain berpotensi kuat melanggar HAM dan hukum acara pidana," jelasnya.
Dia juga menyampaikan, jika mengacu aturan yang ada pada Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018, Perpres yang mengatur tugas TNI tersebut memang diperlukan. Tapi, aturan tersebut seharusnya dibentuk untuk mempertegas batasan peran, kewenangan, serta dalam situasi dan kondisi seperti apa militer boleh dan harus dilibatkan.
Hal yang tak kalah penting untuk diatur dalam peraturan tersebut, kata dia, yakni tentang bagaimana koordinasi, penggerakan, pengendalian, dan pengawasan dilakukan pada pelibatan dan pera serta TNI. Dengan hadirnya BNPT, maka seluruh upaya pemberantasan terorisme semestinya berada di bawah koordinasi dan kendali lembaga tersebut.
"Jadi bagi saya, ini bukan lagi soal perlu atau tidak perlu, melainkan soal tepat atau tidak. Karena sayangnya, isi Perpres itu justru di luar ekspektasi publik dan justru membuka ruang yang makin luas dan kuat dalam penanggulangan terorisme," katanya.