Sabtu 06 Jun 2020 08:16 WIB

Mencegah Turbulensi Pendidikan di Masa New Normal

Kebijakan new normal di sekolah mesti memastikan tidak menimbulkan klaster baru

Prof Cecep Darmawan, Guru Besar UPI dan Sekjen Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara (AsIAN)
Foto:

Perlu dipahami bersama bahwa pada dasarnya pembukaan tahun ajaran baru merupakan kebijakan yang berbeda dengan pembukaan awal siswa masuk belajar secara langsung sekolah. Tahun ajaran baru sendiri ditandai dengan dimulainya Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Sedangkan pembukaan sekolah ditandai dengan diawalinya kegiatan belajar mengajar (KBM) guru dan siswa secara tatap muka di kelas.

Untuk kebijakan membuka KBM di sekolah sendiri, tentu butuh adaptasi baru dengan sejumlah persyaratan yang amat ketat, baik protokol kesehatan maupun regulasi baru menyangkut teknis KBM yang menjamin adanya keamanan dan keselamatan siswa dan guru. Jika masih ditemukan adanya potensi risiko terkena pandemi covid-19, maka pembelajaran selayaknya dilakukan secara daring sampai dipastikan suasana dan situasi aman dari pandemi ini.

Untuk itu, penulis mencoba memberikan beberapa hal yang harus diperhatikan Kemendikbud guna menyusun mekanisme, prosedur, dan protokol pembukaan sekolah sebagai bentuk persiapan menuju adaptasi kebiasaan baru atau new normal dalam dunia pendidikan. Pertama, Kemendikbud harus meningkatkan koordinasi secara kelembagaan dengan Gugus Tugas Covid-19 sebagai leading sector dalam penanganan masalah pandemi covid-19, maupun kerja sama dengan lembaga lainnya.

Hal ini penting dilakukan agar kebijakannya dapat terintegrasi secara utuh dalam satu jalur (one gate policy) sehingga memudahkan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan. Selain itu, Kemendikbud juga harus melakukan komunikasi dan koordinasi secara intens dengan pemerintah  provinsi dan kabupaten/kota dalam merumuskan kebijakan adaptasi baru di sekolah. Kebijakan ini perlu ditempuh karena pemerintah provinsi dan kabupaten/kotalah yang memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah.

Kedua, Kemendikbud dan pemerintah  provinsi dan kabupaten/kota harus berupaya mengutamakan aspek utama yakni keselamatan guru dan siswa agar tidak terpapar covid-19. Adanya kebijakan new normal di sekolah mesti memastikan tidak menimbulkan klaster baru atau gelombang kedua meningkatnya pasien positif yang tertular covid-19.

Inilah pentingnya kewaspadaan bersama semua pihak, agar tidak terjadi musibah massal di sekolah. Kalau prosedur dan protokol kesehatan tidak bisa diimplementasikan dengan baik, nantinya alih-alih mencerdaskan anak didik, justru akan berpotensi menimbulkan masalah baru. Beberapa kasus terjadi di Korea Selatan dan negara lain yang mencoba membuka sekolah, tetapi dalam masa tertentu sejumlah anak terkena covid-19.

Ketiga, dalam menerapkan kebijakan adaptasi baru di sekolah, Kemendikbud beserta pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mesti melihat pembukaan KBM di sekolah secara kasus per kasus di lapangan. Kemendikbud dan pemda harus terjun ke lapangan secara langsung melihat dan mendata sekolah mana saja yang sudah siap dengan pemenuhan persyaratan protokol kesehatan yang ketat, dan sekolah mana yang belum siap.

Atas dasar itu, kebijakan yang diambil pun jangan dipukul rata atau digeneralisir. Kebijakan KBM harus berbeda untuk situasi sekolah yang berbeda sesuai dengan lingkungan sekolah, guru, dan anak didiknya.

Jika terdapat sejumlah sekolah yang belum siap melaksanakan KBM secara langsung, sekolah dapat memperpanjang proses pembelajaran secara daring, sekaligus pemerintah membantu mempersiapkan berbagai infrastruktur pembelajaran daring. Sementara itu, sekolah yang sudah siap KBM dapat menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar (KBM) secara tatap muka, tentunya dengan mengikuti SOP atau protokol kesehatan yang dibuat oleh Kemendikbud dan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.

Keempat, bagi sekolah yang sudah aman, pemerintah pun dapat menerapkan proses pembelajaran di sekolah dengan sistem shift, sehingga KBM di sekolah dapat dilakukan secara bergilir. Dalam keadaan PMB pun siswa dan guru dilarang bergerombol dan tetap melakukan jaga jarak.

Konsekuensinya pemerintah harus memperhatikan aspek kesehatan dan kesejahteraan tenaga pendidik yang akan terkuras melayani siswa dengan adanya sistem shift ini. Pola shift-nya bisa terbagi melalui jam pagi dan siang atau shift melalui model blended learning, yang menerapakan hari tertentu belajar di sekolah di hari lain melalui daring di rumah masing-masing.

Kelima, Kemendikbud harus melakukan evaluasi secara komprehensif terhadap penyelenggaraan pembelajaran daring yang diterapkan sebelumnya. Begitu pun, Kemendikbud harus mengevaluasi sejauh mana kinerja para guru dalam melaksanakan pembelajaran secara daring, psikologis siswa, serta hasil pembelajaran daring, sehingga hasil tersebut dapat menjadi masukan untuk menyelenggarakan pembelajaran secara daring di tahun ajaran baru 2020/2021.

Terakhir, adanya kebijakan adaptasi baru di sekolah akan mengubah mindset pendidikan yang sebelumnya hanya berorientasi pada pencapaian kurikulum formal semata, ke depan harus bergeser dengan melibatkan materi yang kontekstual yang merupakan bagian dari kurikulum tersembunyi (the hidden curriculum). Atas dasar itu, Kemendibud mesti mengantisipasi berbagai kemungkinan agar sistem pendidikan tidak terkena turbulensi sebagai imbas dari wabah pandemi covid-19 ini. Begitu pun, proses pembelajaran harus tetap dipastikan berlangsung dengan baik dan mampu menjaga kualitas pendidikan nasional dan hak anak untuk belajar meskipun dalam keadaan darurat pandemi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement