Kamis 04 Jun 2020 20:04 WIB

Ketua KPU Ingat Obrolan 15 Menitnya dengan Harun Masiku

Ketua KPU menjadi saksi kasus Harun Masiku.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman (kiri)  mengikuti sidang sebagai saksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (4/6/2020). Sidang yang beragendakan mendengarkan keterangan saksi tersebut terkait sejumlah keputusan yang dilakukan secara kolektif kolegial dalam pengangkatan anggota pengganti antar waktu (PAW) Harun Masiku dalam dugaan suap terhadap terdakwa mantan anggota KPU, Wahyu Setiawan
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman (kiri) mengikuti sidang sebagai saksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (4/6/2020). Sidang yang beragendakan mendengarkan keterangan saksi tersebut terkait sejumlah keputusan yang dilakukan secara kolektif kolegial dalam pengangkatan anggota pengganti antar waktu (PAW) Harun Masiku dalam dugaan suap terhadap terdakwa mantan anggota KPU, Wahyu Setiawan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman menilai pertemuannya dengan politikus PDI Perjuangan Harun Masiku di Kantor KPU pada September 2019. Ketika itu ia mengingat mereka lebih banyak berbincang ngalor-ngidul.

"Saat itu cuma menyampaikan ini ada surat dari Mahkamah Agung, surat DPP PDIP, foto, 15—20 menit sebetulnya banyak ngalor-ngidul-nya," kata Arief di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (4/6).

Baca Juga

Arief menyampaikan hal tersebut sebagai saksi mantan anggota KPU Wahyu Setiawan dan kader PDIP Agustiani Tio Fridelina. Arief, jaksa penuntut umum (JPU) KPK, majelis hakim, dan sebagian penasihat hukum berada di pengadilan Tipikor Jakarta, sementara Wahyu dan Agustiani Tio mengikuti persidangan melalui video conference dari Gedung KPK.

Dalam perkara ini, Wahyu dan Agustiani didakwa menerima suap Rp 600 juta dari kader PDIP Harun Masiku agar mengupayakan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI dari Riezky Aprilia sebagai anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Sumatra Selatan (Dapil Sumsel) 1 kepada Harun Masiku. Wahyu juga didakwa menerima suap Rp 500 juta dari Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan.

Dalam dakwaan disebutkan PDIP memutuskan Harun Masiku mendapat suara limpahan politikus PDIP Nazaruddin Kiemas yang meninggal dunia sehingga mengajukan surat ke KPU. Namun, KPU membalas surat DPP PDIP itu dengan menyatakan tidak dapat mengakomodasi permohonan DPP PDIP karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

"Seingat saya secara verbal dia (Harun Masiku) tidak terlalu menjelaskan detail. Dia hanya menyampaikan ada putusan MA, surat PDIP, dan menunjukkan kedekatan dia dengan tokoh lewat foto yang dibawanya," kata Arief.

Pertemuan itu setelah ada pelaksanaan rapat pleno terbuka penetapan kursi dan calon terpilih. Harun bertemu di ruangan Arief di Kantor KPU tanpa membuat janji sebelumnya.

Saat itu Harun datang bersama seseorang laki-laki yang tidak dikenal Arief. "Saya tidak bisa pastikan dia bersama siapa. Akan tetapi, dia datang berdua, tapi waktunya saya agak lupa, yang jelas setelah penetapan perolehan suara. Jadi, sudah ketahuan posisinya cuma setalah perolehan suara itu kemudian ada sengketa ke MK sampai proses sengketa selesai, kemudian kita menetapkan perolehan kursi dan calon terpilih," ungkap Arief.

Menurut Arief, bila ada sengketa pemilu, pihak yang keberatan dapat membawa ke Mahkamah Konstitusi. Setelah seluruh proses sengketa selesai, barulah dilanjutkan dengan penetapan kursi dan calon terpilih.

"Yang disampaikan Harun ada putusan MA, dan meminta supaya penggantian bisa mengikuti keputusan MA dan diberikan kepada yang bersangkutan," kata Arief.

Keputusan MA yang dimaksud Arief adalah Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 57P/HUM/2019 sebagai dasar pengiriman surat DPP PDIP Nomor 2576/EX/DPP/VIII/2019 kepada KPU yang meminta calon yang telah meninggal dunia atas nama Nazaruddin Kiemas suara sahnya dialihkan kepada calon atas nama Harun Masiku.

"Kalimatnya saya tidak ingat, tetapi substansinya mohon segera diproses sebagaimana keputusan MA. Seingat saya dia membawa keputusan MA, surat DPP PDIP dan beberapa foto dia tunjukkan kepada saya, foto dia dengan orang-orang yang mungkin dekat dengan dia," kata Arief.

Orang-orang itu, menurut Arief, adalah sejumlah pejabat negara. "Ada lah, tokoh-tokoh besar, pimpinan partai, foto pejabat. Akan tetapi, 'kan karena itu pertemuan informal saya tidak mencatat, tidak mendokumentasikan apa pun," ungkap Arief.

Arief juga mengaku tidak tahu maksud Harun menunjukkan foto-fotonya dengan para tokoh itu kepada Arief. "Saya tidak menanggapi, saya biasa saja. Dokumen yang dia serahkan itu tidak dimasukkan secara resmi dan itu saya letakkan saja. Saya ya sudah ucapkan terima kasih, silakan saja. 'Kan setiap hari ada saja yang datang ke kantor saya untuk berkonsultasi tentang pemilu," kata Arief menjelaskan.

Namun, Arief dalam pembicaraan itu menegaskan bahwa KPU dalam memutus kebijakan itu selalu berdasarkan ketentuan dan peraturan yang berlaku. "Di dalam BAP Saudara nomor 27 di halaman 3 di alinea paling bawah saksi menjelaskan terhadap permohonan pada pokoknya 'Saya sampaikan bahwa saya pribadi tidak bisa menbantu karena yang diminta tidak sesuai dengan UU Pemilu'. Ada seperti itu?" tanya jaksa penuntut umum KPK Kresno Anto Wibowo.

"Ya, KPU kalau membuat keputusan itu sesuai dengan aturan yang berlaku dan atas surat pertama sudah kita jawab bahwa kita tidak bisa menindaklanjuti karena tidak sesuai peraturan perundangan yang berlaku lalu Harun Masiku terus pulang," kata Arief.

Keberadaan Harun Masiku sejak ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada tanggal 9 Januari 2020 hingga saat ini masih misterius dan sudah dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) alias buron.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement