REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Refly Harun mengajak dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, berbincang tentang diskusi yang diselenggarakan mahasiswa fakultas Hukum UGM yang akhirnya dibatalkan, karena teror pada Jumat (29/5). Diskusi yang diselenggarakan anggota Constitutional Law Society (CLS) yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum UGM tersebut mengundang pemateri guru besar hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Ni'matul Huda. Namun akhirnya webinar yang mengangkat tema 'Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan' tersebut dibatalkan, setelah pembicara dan panitia mendapat teror dan ancaman pembununuhan.
Zainal Arifin Mochtar menjelaskan, peristiwa itu bukan UGM yang membatalkan, namun panitia dan pembicara sendiri yang memutuskan, lantaran kedaan tidak kondusif. Pasalnya muncul ancaman pembunuhan hingga akhirnya webinar tidak dilaksanakan. "Jadi UGM sama sekali tidak membatalkan, tidak ada peran membatalkan. Mereka sendiri para mahasiswa dan pembicaranya Prof Ni'ma itu bersepakat untuk tidak melanjutkan diskusi itu," kata Zainal di akun Youtube, Refly Harun.
Menurut dia, bagian itu yang banyak orang salah persepsi di publik, seakan-akan UGM, atau Fakultas Hukum yang membatalkan. Zainal pun menjelaskan, sebenarnya ada sekelompok mahasiswa yang mengambil jurusan hukum tata negara (HTN), mereka menjuluki dirinya sebagai komunitas HTN. Belakangan, kata dia, mereka mengubah komunitas itu menjadi CLS. Zainal menjelaskan, komunitas tersebut tidak berada di bawah UGM langsung.
"Mereka anggotanya anak-anak mahasiswa yang senang diskusi, lalu tiba-tiba mereka setelah ujian tidak ngapa-ngapain itu kemudian ngumpul mau bikin diskusi. Mereka ada yang di Yogya, ada yang pulang kampung memang ujian sudah lewat online semua," ucap Zainal.
Di buku panduan diskusi (TOR), menurut Zainal, anggota CLS agak gundah dan resah dengan belakangan ini, muncul isu yang mengatakan presiden bisa diberhentikan (impeachment). Alasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa diberhentikan, sambung dia, karena alasan penanganan Covid-19 yang tidak serus. Masalah itu juga kerap menjadi bahan perbincangan di kelas tentang sistem presidensial.
Zainal mengatakan, para mahasiswa itu terus berdiskusi tentang presiden apakah bisa dijatuhkan karena kebijakan atau tidak. "Nah mereka (mahasiswa) mau mengatakan tidak bisa, bangunan konstitusional kita tidak mengenal impeachment, pemberhentian presiden. Makanya mereka mau diskusikan itu dan sebarluaskan itu, sebagai pesan kepada publik bahwa berhenti dunk berbicara tentang pemecatan presiden, karena pemecatan presiden sendiri itu kan tidak lazim dalam istilah ketatanegaraan. Orang lebih banyak berbicara tentang pemberhentian dan pemakzulan," kata Zainul.
Poin kesimpulannya, lanjut dia, adalah mereka mau membahasakan ke publik bahwa pemberhentian itu tidak benar. Sehingga sebenarnya tidak ada maksud mahasiswa menjatuhkan presiden, yang ada mereka malah membela upaya menjatuhkan itu tidak konstitusional. "Mereka bermaksud membela presiden yang sekarang bahwa tidak bisa dijatuhkan karena kebijakan. Kalau pun salah melakukan penanganan kebijakan tetap tak bisa dijatuhkan karena untuk menjatuhkannya tetap merujuk pada penyuapan pasal artikel impeachment yang spesifik Pasal 7," ucap direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM itu.
Zainal pun menyayangkan ada rekan-rekan, termasuk dosen UGM yang hanya membaca judul seminar itu, lalu tiba-tiba membuat tulisan yang viral. Hal itu merujuk pada artikel yang ditulis dosen Fakultas Teknik UGM Bagas Pujilaksono Widyakanigara berjudul 'Gerakan Makar di UGM Saat Jokowi Sibuk Atasi Covid-19' di salah satu media daring, yang memicu kegaduhan dan menganggap diskusi itu sebagai bagian dari upaya menjatuhkan presiden. Alhasil, panitia dan pemateri mendapat teror hingga webinar akhirnya dibatalkan.
"Tapi saya gak yakin orang ini paham tata negara, karena ini orang teknik. Tiba-tiba membaca itu hanya judul, tak membaca TOR tiba-tiba membuat tulisan yang mengatakan ada gerakan makar di UGM. Dan tulian itu tiba-tiba diviralkan, dibuat di mana-mana dilempar ke mana-mana, saya saja dapat tujuh sampai delapan kali secara berturut-turut," kata Zainal.