REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah beragumentasi bahwa pemohon uji materi Perppu Nomor 1 Tahun 2020 telah kehilangan objek gugatan lantaran perppu tersebut telah diundangkan menjadi Undang-undang (UU). Mahkamah Konstitusi (MK), meminta klarifikasi kepada pemerintah dalam sidang lanjutan uji materi pada hari ini.
"Gugatan dari para pemohon itu sudah kehilangan objeknya. Objectum litis"(kewenangan yang dipersengketakan) jadi sudah hilang tidak ada lagi. Artinya, belum mereka menggugat perppu sekarang perppu itu sudah jadi Undang-Undang No 2 Tahun 2020," kata Yasonna, Rabu (20/5).
Dalam sidang lanjutan uji materi terhadap Perppu 1/2020 hari ini di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini, Hakim MK Arief Hidayat meminta pemerintah menyerahkan bukti dokumen Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu 1/2020.
"Pemerintah supaya bisa mengirim dokumen resmi berupa undang-undang yang dimaksud, kalau bisa juga dilengkapi surat DPR kepada pemerintah, kemudian segera dikirimkan kepada Mahkamah melalui kepaniteraan," ujar Arief Hidayat.
Permintaan tersebut disampaikan setelah kuasa hukum pemohon perkara nomor 24/PUU-XVIII/2020, Kurniawan Adi Nugroho, meminta majelis hakim memerintahkan perwakilan Presiden menunjukkan bukti Perppu Nomor 1 Tahun 2020 telah diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.
"Merujuk Pasal 37 Undang-Undang MK dimana majelis Mahkamah memeriksa berdasarkan bukti yang dihadirkan di persidangan, misalnya berupa surat apakah memang benar ada surat Presiden kepada DPR, kemudian apakah memang benar ada bentuk fisik surat DPR kepada Presiden," ujar Kurniawan.
Ia juga meminta bukti dokumentasi surat menyurat di lingkungan pemerintah dalam pengundangan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Adapun dalam kesempatan itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mewakili Presiden bersama Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly serta Jaksa Agung ST Burhanuddin, mengatakan Perppu 1/2020 soal kebijakan keuangan penanganan Covid-19 telah diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.
Ia memastikan undang-undang tersebut telah tercantum dalam lembaran negara Tahun 2020 Nomor 134 Tambahan Lembaran Negara Nomor 6516.
Dalam rapat paripurna ke-15 Masa Sidang III Tahun 2019—2020, Selasa, 12 Mei 2020, tutur Sri Mulyani, DPR memberikan persetujuan untuk menetapkan RUU tentang penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi undang-undang.
Selanjutnya pemerintah mengesahkan persetujuan DPR atas Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi undang-undang.
"Pemerintah telah mengesahkan persetujuan DPT tersebut melalui UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang," tutur Sri Mulyani.
"Jadi sudah jelas perppu itu sudah menjadi undang-undang," tutur Anwar Usman usai mendengar keterangan.
Diketahui, sesaat setelah diterbitkan pada akhir Maret 2020, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 itu digugat tiga pemohon ke Mahkamah Konstitusi. Ketiganya adalah Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan kawan-kawan, Din Syamsuddin serta Amien Rais dan kawan-kawan, serta aktivis Damai Hari Lubis.
Kepala Bagian Humas dan Hubungan Dalam Negeri MK Fajar Laksono, pekan lalu menjelaskan, perkara yang tidak memiliki objek, amar putusan tidak dapat diterima karena belum masuk pada pokok perkara. Kendati demikian, Fajar Laksono mengatakan perkara itu akan dibahas dan diputus dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) secepatnya.
"Dalam perkara-perkara uji perppu yang terdahulu, kalau perppu sudah ditetapkan menjadi undang-undang dan undang-undang sudah disahkan kemudian diundangkan sehingga berlaku mengikat, maka perkara kehilangan objek," kata Fajar.
Dalam Rapat Paripurna, Selasa (12/5), DPR mengesahkan perppu tersebut menjadi undang-undang. Akibat keputusan DPR itu, satu dari tiga pemohon uji materi Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mencabut gugatannya di MK. Gugatan yang dicabut yakni yang dimohonkan oleh aktivis Damai Hari Lubis.
Sementara dua gugatan lain yang dimohonkan oleh MAKI dan kawan-kawan serta Din Syamsuddin-Amien Rais dan kawan-kawan tetap dilanjutkan. Para pemohon uji materi menilai Covid-19 tidak termasuk dalam kegentingan memaksa dan APBN hanya boleh direvisi melalui APBN perubahan, bukan melalui perppu.
Selain itu, pemohon juga menyoroti Pasal 27 ayat (1) yang mengatur imunitas hukum pemerintah dan/atau anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Pemohon menilai Pasal 27 ayat (1) merupakan bentuk pengistimewaan pejabat tertentu yang berpotensi pada terjadinya tindak pidana korupsi.
"Bahwa Pasal 27 ayat 1 yang memungkinkan terjadinya potensi tindak pidana korupsi," ujar salah satu kuasa hukum Pemohon, Zainal Arifin Hoesein dalam sidang pendahuluan di gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (28/4).
Zainal mengatakan, dalam Pasal 27 disebutkan, biaya yang dikeluarkan pemerintah selama penanganan pandemi Covid-19 bukan merupakan kerugian negara. Termasuk di dalamnya kebijakan bidang perpajakan, keuangan daerah, yang menjadi bagian pemulihan ekonomi nasional.
Pemohon Nomor Nomor 23/PUU-XVIII/2020 juga menilai Pasal 27 Ayat (2) dan (3) bermasalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Kedua pasal itu memiliki imunitas atau kekebalan hukum para pejabat yang melaksanakan Perppu Nomor 1 Tahun 2020.
Pasal 27 Ayat (2) menyebutkan, anggota, sekretaris, serta anggota sekretariat KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan), dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan Perppu Nomor 1 Tahun 2020, tidak dapat dituntut. Baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Kemudian, Pasal 27 Ayat (3) mengatakan, segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan ke peradilan tata usaha negara. Menurut pemohon, kedua ayat ini memberikan keistimewaan suatu pihak di mata hukum, sehingga melanggar prinsip equality before the law atau kesamaan hukum.