Selasa 19 May 2020 15:58 WIB

Mahfud Bahas Perpres Pelibatan TNI dalam Berantas Terorisme

Mahfud mengatakan posisi TNI tetap mempertimbangkan demokrasi dan hukum.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Menko Polhukam Mahfud MD
Foto: Dok. Humas Memenko Polhukam
Menko Polhukam Mahfud MD

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, manyatakan, kritik terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Pelibatan TNI dalam Mengatasi Terorisme akan pemerintah tampung. Ia menyampaikan, semua pihak harus berpijak pada tujuan menjaga eksistensi negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang demokratis dan berdasarkan hukum.

"Semua aspirasi masyarakat kita tampung dan kita harus, sama-sama apakah yang dikritik atau yang mengkritik, berpijak pada hal yang sama, yaitu menjaga eksistensi NKRI yang demokratis dan berdasarkan hukum," jelas Mahfud kepada Republika, Selasa (19/5).

Baca Juga

Mahfud mengungkapkan, ia akan melakukan pembahasan mengenai Perpres yang dikritik banyak pihak tersebut bersama dengan para pihak terkait di pemerintahan hari ini. Mereka akan membahas posisi TNI, Polri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), masyarakat, dan sebagainya dalam menghadapi terorisme berdasarkan demokrasi dan hukum.

"Bagaimana caranya posisi menempatkan demokrasi dan hukum ini di mana posisi TNI, Polri, BNPT, masyarkaat, dan sebagainya dalam menghadapi terorisme itulah yang kita akan bicarakan," jelas dia.

Di samping itu, pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme dinilai tidak akan menimbulkan masalah selama sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme. Agar tidak menimbulkan kekhawatiran serta polemik, maka Perpres yang mengatur soal hal tersebut harus mengatur dengan jelas tugas TNI.

"Sepanjang sesuai dengan amanat dari ketentuan Pasal 43 I UU Nomor 5 Tahun 2018, masyarakat tidak perlu khawatir terhadap pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme. Bagaimanapun juga, nyata di Indonesia bahwa terorisme sudah menjadi ancaman serius bagi kedaulatan bangsa dan negara," ujar Anggota Komisi III DPR RI, Wayan Sudirta, melalui keterangan tertulisnya, Senin (18/5).

Terkait dengan kekhawatiran tumpang tindih kewenangan TNI dengan Polri dan BNPT dalam penanganan terorisme, Sudirta menyatakan, hal tersebut harus sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Ayat 2 huruf b angka 3 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal tersebut mengatur tentang 14 operasi militer selain perang (OMSP) yang menjadi tugas pokok dan fungsi TNI.

"Dalam angka 3 ketentuan tentang OMSP disebutkan, tugas pokok selain perang bagi TNI adalah mengatasi aksi terorisme. Agar tidak menimbulkan kekhawatiran dan polemik, maka harus diperjelas dalam Perpres yang akan diterbitkan," jelas Sudirta.

Hal pertama yang ia sorot, yakni pelibatan militer dalam penanggulangan terorisme merupakan pilihan terakhir setelah instansi keamanan yang ada tidak cukup mampu untuk mengatasi terorisme. Selain itu, TNI bisa juga bisa dilibatkan apabila terkait misi keamanan warga negara Indonesia yang disandera teroris diluar negeri.

‘’Yang terpenting adalah mengatur jika eskalasi ancaman keamanan meningkat dan mengganggu kedaulatan negara, kemudian Presiden menetapkan status keadaan darurat militer," jelasnya.

Hal kedua, kat adia, prinsip utama yang diatur dalam Perpres tersebut harus menekankan pengerahan kekuatan militer dalam OMSP untuk mengatasi terorisme. Perlu diatur pengerahan kekuatan militer hanya bisa dilakukan  jika ada keputusan politik Presiden. Dengan begitu, Presiden sangat menentukan peran TNI dalam mengatasi terorisme, sehingga secara prinsip akan terkait dengan hak darurat yang dapat diambil Presiden.

"Konstitusi Indonesia mengatur staatnoodsrect (hak darurat) dapat dilihat dalam dua aspek, yakni aspek obyektif dan aspek subyektif," ungkap dia.

Kemudian, jelas dia, pelibatan TNI pada intinya bersifat sementara dalam menangani terorisme. Selain itu, akuntabilitas hukum dalam menangani terorisme sama seperti polisi. Menurutnya, TNI harus tunduk pada mekanisme peradilan umum dalam pertanggungjawaban hukumnya jika terjadi pelanggaran atau kesalahan.

Sudirta juga menyebutkan, ketentuan UU Nomor 5 Tahun 2018 memberi waktu setahun untuk melahirkan peraturan pelaksanaan. Karena itu, sudah seharusnya ada upaya untuk membuat suatu regulasi untuk melengkapi UU tersebut. Ia melihat, upaya menyiapkan Rancangan Perpres merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah untuk mengantisipasi penanggulangan terorisme. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement