REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Febrianto Adi Saputro, Dessy Suciati Saputri, Sapto Andika Candra
Pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dinilai akan bermanifestasi herd immunity (kekebalan kelompok) di tengah masyarakat saat pandemi Covid-19. Ketua Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB) dr James Allan Rarung menyoroti rencana pemerintah mengizinkan warga berusia 45 tahun ke bawah bisa kembali bekerja dan beraktivitas.
"Tentu saja efek samping dari herd immunity adalah bagi individu dalam populasi tersebut lemah maka akan sakit dan bahkan meninggal," kata James, Ahad (18/5).
James menjelaskan, herd immunity adalah suatu aktivitas yang menyebabkan munculnya kekebalan terhadap suatu infeksi penyakit menular atau virus di antara individu dalam suatu populasi manusia atau masyarakat. Herd immunity secara umum adalah "membiarkan" suatu populasi penduduk untuk terpapar virus sehingga terbentuk antibodi.
Dengan dibiarkannya populasi tersebut beraktivitas seperti biasa atau tidak diisolasi di tengah adanya wabah, menurut dia, pada ambang batas tertentu diharapkan muncul kekebalan pada populasi tersebut terhadap wabah yang sedang berlangsung. Menurut dia, meningkatnya kekebalan tersebut di tengah masyarakat diharapkan menyebabkan turunnya tingkat infeksi atau berkurangnya penyebaran wabah tersebut sehingga akan melindungi populasi dari infeksi baru.
Untuk mencapai hal ini, persentase terbentuknya kekebalan pada populasi tersebut kurang lebih 70 persen. Adapun kurang lebih 30 persen akan rentan atau menjadi efek samping yang berpeluang untuk menderita sakit yang bergejala.
Menurut James, pelonggaran PSBB bagi pekerja berusia 45 tahun ke bawah memang sangat berisiko tinggi terpapar infeksi Covid-19. Dia menyakini hal itu juga diperhitungkan oleh pemerintah.
Oleh karena itu, apabila keputusan pelonggaran PSBB itu akan dijalankan, jaring pengaman yang ketat dalam bentuk aturan lanjutan harus dibuat. Aturan tersebut antara lain pekerja usia 45 tahun ke bawah itu harus dalam kondisi yang sehat dan kesehatannya terus dimonitor.
Selain itu, menurut dia, di tempat kerja harus ada sistem penanganan apabila ternyata saat bekerja pekerja berusia 45 tahun ke bawah itu bergejala sakit dan tercurigai terinfeksi Covid-19. "Harus terus dimonitor dengan pemeriksaan rapid test dan dilanjutkan dengan swab untuk polymerase chain reaction (PCR) apabila positif," katanya.
Setelah pekerja tersebut pulang kerja dan berada di rumah, menurut dia, protokol kesehatan terkait pencegahan Covid-19 wajib dijalankan dengan ketat. Protokol itu meliputi menghindari kontak langsung dengan anggota keluarga atau yang tinggal serumah yang kondisinya rentan terinfeksi, terutama yang menderita sakit kronis dan komorbid serta anak kecil yang sakit dan daya tahan tubuhnya menurun.
Ia menegaskan, aturan lanjutan dan protokol ketat itu sangat penting dilakukan karena jelas pelonggaran PSBB untuk pekerja usia 45 tahun ke bawah akan meningkatkan risiko orang tanpa gejala meskipun sudah terinfeksi. Mereka akan menjadi carrier atau agen pembawa yang dapat menularkan kepada orang yang sakit dan atau memiliki komorbid.
"Jadi, apabila tidak terelakkan keputusan ini dijalankan oleh pemerintah maka protokol kesehatan terkait penanganan Covid-19 ini tetap terus dijalankan dengan ketat dan mau tidak mau harus diperbanyak screening yang dilakukan sekaligus perbanyak pemeriksaan definitif, yakni tes swab untuk PCR," katanya.
Dia menyarankan pemerintah harus melengkapi dan menambah sarana-prasarana pelayanan kesehatan, baik puskesmas, klinik, maupun rumah sakit, untuk mengantisipasi melonjaknya pasien positif Covid-19 yang secara prediksi akan meningkat pada fase awal kebijakan itu dijalankan. Karena itulah, dia menambahkan, aktivitas sosial masyarakat harus bertahap dikembalikan seperti sediakala dan tentunya protokol hidup sehat untuk mencegah semua penyakit menular, termasuk infeksi Covid-19, harus dijadikan pola keseharian dalam hidup.
Sebelumnya, Ketua DPR Puan Maharani mengingatkan agar pemerintah hati-hati sebelum memutuskan untuk melonggarkan PSBB di sebuah daerah. Ia menuturkan, prinsip keberhatian tersebut perlu dilakukan sama seperti sebelum memutuskan sebuah daerah diizinkan menjalankan PSBB.
"Salah satu yang penting diperhatikan adalah angka perkembangan pasien positif Covid-19 yang masih fluktuatif ketika kita melihat data harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19," kata Puan dalam keterangan tertulis, Senin (11/5).
Selain itu, Puan menambahkan, data lain menunjukkan bahwa kapasitas harian tes PCR masih belum mencapai target yang ditetapkan presiden, yaitu masih 5.000 spesimen per hari atau masih separuh dari target 10 ribu spesimen per hari. Oleh karena itu, dirinya menilai sangat penting agar keputusan untuk dilakukan atau tidaknya relaksasi terhadap PSBB dibuat atau didasarkan pada data yang lengkap, yang dianalisis secara cermat.
"Sebab, kita tidak ingin terjadi peningkatan tingkat kasus infeksi baru. Karena itu, pemerintah perlu melakukan simulasi relaksasi untuk melihat dampak yang ditimbulkannya," ujarnya.
Mantan menko PMK itu menuturkan, pelonggaran PSBB tersebut bukan soal memilih mana yang diprioritaskan antara ekonomi dan kesehatan, melainkan mencari keseimbangan bagaimana kedua roda itu tetap bergerak seiringan di tengah pandemi Covid-19. Kendati demikian, Puan berharap apa pun kebijakan yang nantinya diputuskan, pemerintah harus menyosialisasikannya ke masyarakat secara utuh disertai pelaksanaan yang terkoordinasi sehingga tidak akan muncul kebingungan-kebingungan di masyarakat.
Selain itu, perlu adanya kedisiplinan, solidaritas, empati, dan konsistensi dari masyarakat dalam menanggulangi pandemi Covid-19. "Hal ini dikarenakan penyelesaian pandemi ini merupakan tugas bersama dan butuh gotong royong bersama untuk menyelesaikannya," ucapnya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) hari ini menegaskan, pemerintah belum akan melonggarkan kebijakan PSBB saat ini. Karena itu, ia meminta agar hal ini disampaikan ke masyarakat sehingga tetap disiplin menjalani protokol kesehatan.
“Saya ingin tegaskan bahwa belum ada kebijakan pelonggaran PSBB. Karena jangan muncul nanti keliru ditangkap masyarakat bahwa pemerintah sudah mulai melonggarkan PSBB, belum. Jadi, belum ada kebijakan pelonggaran PSBB,” kata Jokowi saat membuka rapat terbatas percepatan penanganan pandemi Covid-19, di Istana Merdeka, Senin (18/5).
Namun, pemerintah saat ini tengah menyiapkan skenario pelonggaran PSBB. Skenario ini baru akan diputuskan setelah mempertimbangkan berbagai data dan fakta perkembangan corona di lapangan.
“Karena kita harus hati-hati, jangan keliru kita memutuskan,” ucap dia.
Kebijakan membolehkan warga di bawah 45 tahun disampaikan oleh Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo pada Senin (11/5) pekan lalu. Namun, pada Selasa (12/5) Doni memberikan klarifikasi.
Doni menjelaskan, prioritas bagi warga berusia muda untuk kembali bekerja hanya diperuntukkan sejumlah sektor yang memang diperbolehkan beroperasi selama PSBB berjalan. Pernyataan Doni lebih bersifat imbauan kepada pemilik usaha yang diberi izin beroperasi agar memprioritaskan pegawai dengan usia di bawah 45 tahun untuk tetap bekerja guna menekan angka pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB memang disebutkan mengenai bidang usaha yang dikecualikan dalam peliburan aktivitas tempat kerja. Pasal 13 ayat 3 beleid tersebut menjelaskan, bidang usaha yang diperbolehkan tetap buka selama PSBB antara lain kantor atau instansi yang memberikan pelayanan terkait pertahanan dan keamanan, ketertiban umum, kebutuhan pangan, BBM dan gas, pelayanan kesehatan, perekonomian dan keuangan, komunikasi, industri serta ekspor-impor, distribusi dan logistik, serta kebutuhan dasar lainnya.
"Kenapa kita menganjurkan para pimpinan perusahaan di kantor untuk berikan prioritas untuk kelompok usia yang relatif muda? Karena menurut data bahwa usia 60 tahun ke atas mengalami angka kematian tertinggi (akibat Covid-19), yaitu 45 persen," kata Doni selepas mengikuti rapat terbatas bersama Presiden Jokowi, Selasa (12/5).