Sejak ditetapkannya status wabah pes, segala macam bentuk keramaian dilarang dan daerah yang dinyat akan terjangkit pes diisolasi. Dienst der Pestbestrijding (Dinas Pemberantasan Pes) dibentuk sebagai lembaga untuk menangani wabah pes di Malang. Program yang dijalankan oleh Dinas Pemberantasan Pes meliputi evakuasi, isolasi, dan woningverbetering atau usaha perbaikan rumah.
Seperti yang telah diceritakan di atas, setiap orang yang diduga terjangkit pes diwajibkan tinggal di barak isolasi. Setiap lokasi barak-barak isolasi terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1.Barak isolasi yang diperuntukkan bagi penderita pes.
2.Barak observasi digunakan untu k pemeriksaan pasien dan keluarganya.
3.Barak yang diperuntukkan bagi anggota keluarga para penderita pes.
Bagi individu yang diduga terinfeksi pes, rumahnya ditandai dengan bendera merah. Kemudian dipagari dengan bambu atau material lain. Atap rumah atau genting dibuka agar seluruh bagian rumah terkena sinar matahari.
- Keterangan foto: Seorang ibu dan anaknya tengah mencuci pakaian di sebuah sungai di Malang, tahun 1910.
Pada April 1911, untuk rumah-rumah yang telah terinfeksi pes dilakukan tindakan disinfeksi dengan sulfur. Tindakan disinfeksi juga dilakukan terhadap pakaian si pemilik rumah. Tempat tidur mereka dibakar. Interior atau barang-barang yang ada di dalam rumah akan dijemur di sinar matahari sampai satu bulan lamanya. Rumah dengan penghuni yang terindikasi pes paru-paru akan langsung dibakar.
Mendisinfeksi dengan petrosium residu sebenarnya lebih ampuh untuk menghilangkan bakteri pes paru-paru,namun hal ini tidak dilakukan pemerintah karena memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Kejadian wabah pes di Jawa telah mendorong pemerintah kolonial melalui Commissie voor de Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) yang kemudian menjadi Balai Pustaka menerbitkan buku berjudul De pestziekte op java en de middelen ter voor koming hiervanyang ditulis oleh Dokter Ole d e Raadt dan dialihbahasa Melayu oleh KP Ardiwinata menjadi Penjakit Pest Ditanah Djawa dan Daja Oepaja akan Menolak Diapada 1915.
Dengan kenyataan bahwa sebagian besar korban pes adalah rakyat Pribumi di Jawa yang tidak berbahasa Belanda dan Melayu, maka buku tersebut juga diterbitkan dalam beberapa bahasa antara lain bahasa Jawa, Sunda, Batak, Madura, Aceh, Nias, dan Mandailing.
Ketegasan dan keseriusan lembaga Dienst der Pestbestrijding di Malang mulai menunjukan hasil enam tahun sejak berjangkitnya wabah. Dalam memori serah jabatan Residensi Pasuruan, K. Pereeboompada Desember 1916, Malang tidak lagi berstatus sebagai daerah terinfeksi pes. Kegiatan dari Dienst der Pestbestrijding kini difokuskan pada perbaikan rumah. Uang muka yang dikeluarkan untuk perbaikan rumah perlahan-lahan mulai diterima penduduk.
Pereeboom menegaskan pembangunan rumah harus diselesaikan paling lambat Desember 1917. Maraknya pemberitaan keberhasilan Dinas Pemberantasan Pes di Malang menghilangkan status daerah pes seolah menenggelamkan situasi riil yang terjadi ketika wabah pes berlangsung. Karantina di barak isolasi yang mengharuskan mereka meninggalkan rumah dan pekerjaan, membuat banyak dari mereka kehilangan harta bendanya karena pencurian dan tanaman pangan yang mati tidak terurus.
Meskipun selama masa karantina pemerintah memberikan kebutuhan pangan, pembagiannya sering kali tidak merata dan tidak teratur. Kemiskinan membawa implikasi pada kondisi kesehatan. Ilustrasi kemiskinan itu terungkap dalam tulisan Marco Kartodikromo di Doenia Bergerak yang di terbitkan pada 31 Januari 1914.
Orang- orang ketjil kebanjakan hidoepnja: sehari makan sekali, jang sedikit mampoe bisa makan nasi, tetapi jang tiada mampoe makan pohong dan djagoeng sadja. Perkara ikan tida sekali-kali dipikirkannja, asal ada garam dan tjabe-rawit soedah tjoekoep. Dari hal pakaian orang-orang desa djarang jang poenja sampe tiga ataoe doea stel: satoe kain kepala, satoe badjoe, dan satoe kain atau saroeng. Kebanjakan marika itoe hanja mempoenjai koerang lebih sedikit: satoe katok, satoe kain boeat kemoel, satoe badjoe soedah toea dan satoe kain kepala djoega soedah robek.
---------
*Artikel ini dikutip atas seizin pengelola Jurnal Sejarah yang ini dikelola oleh 'Masyarakat Sejawaran Indonesia'. Tulisan ini ada di Jurnal Sejarah . Vol. 3(1), 2020.