Jumat 15 May 2020 06:16 WIB

Kala Istana Akui Penerimaan Negara Turun Drastis

Pihak Istana memberikan penjelasan soal keputusan menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

Petugas keamanan berjalan dengan membawa berkas di Kantor Pelayanan Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Jakarta Pusat, Matraman, Jakarta, Senin (9/3). (ilustrasi)
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Petugas keamanan berjalan dengan membawa berkas di Kantor Pelayanan Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Jakarta Pusat, Matraman, Jakarta, Senin (9/3). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Adinda Pryanka

Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Perpres 64 tahun 2020 kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan per 1 Juli 2020. Padahal, rencana kenaikan iuran sebenarnya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) yang permohonan uji materi terhadap Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.

Baca Juga

Kenaikan iuran berlaku untuk kelas I dan kelas II terlebih dulu. Sementara iuran kelas III baru akan naik pada tahun 2021 mendatang.

Plt Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) Abetnego Tarigan menjelaskan, ada dua alasan utama di balik keputusan pemerintah kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres 64/2020. Pertama, adanya kekosongan hukum yang mengatur tentang iuran BPJS Kesehatan pascaputusan Mahkamah Agung (MA) dengan dikabulkannya permohonan uji materi terhadap Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.

Perpres itulah yang menjadi cikal bakal kenaikan iuran BPJS Kesehatan per Januari 2020. Sementara alasan kedua, ujar Abet, adalah upaya menjaga kemampuan operasional BPJS Kesehatan untuk tetap melayani para peserta jaminan kesehatan. Selain itu, kebijakan ini diambil demi memastikan kemampuan BPJS Kesehatan melakukan pembayaran kepada rumah sakit dan fasilitas kesehatan mitra.

Kendati begitu, Abet juga meminta masyarakat memahami bahwa negara dalam situasi yang serbasulit di tengah pandemi Covid-19 ini. Menurutnya, kebijakan kenaikan iuran ini memang menuntut solidaritas masyarakat untuk bersama-sama menghadapi situasi sulit ini.

"Bahwa negara juga dalam situasi yang sulit kan. Artinya penerimaan negara juga turun drastis. Jadi justru semangat solidaritas kita di dalam situasi ini. Yang menjadi penting itu perlu dimonitor oleh masyarakat," ujar Abet, Kamis (14/5).

Pemerintah, ujarnya, tetap meminta peran serta masyarakat untuk tetap mengawasi keberlangsung pelayanan yang diberikan BPJS Kesehatan. Ia pun tidak menutup kemungkinan akan ada intervensi yang dilakukan kementerian apabila ada gangguan dalam pengelolaan ke depan.

Abet menambahkan, Perpres 64 tahun 2020 ini juga mengatur mengenai pemberian subsidi bagi peserta kelas III dan subsidi penuh bagi penerima bantuan iuran. Mengacu pada pasal 29 Perpres 64 tahun 2020, pemerintah memang menanggung iuran bagi peserta PBI (penerima bantuan iuran).

Pasal 34 beleid yang sama juga menyebutkan bahwa pemerintah menanggung iuran kelas III untuk tahun 2020 sebesar Rp 16.500 per orang per bulan, dari angka aslinya Rp 25.500 per orang per bulan.

Sementara untuk tahun 2021, iuran kelas III mengalami kenaikan menjadi Rp 35.000 per orang per bulan. Dari angka tersebut, Rp 7.000 ditanggung pemerintah pusat atau daerah. Pemerintah daerah juga dimungkinkan menanggung sebagian atau keseluruhan iuran kelas III.

"Makanya dari Perpres yang digugat, itu kan sebenarnya mempertimbangkan aspek itu. Jadi ada yang memang dalam penyesuaian itu ada tanggung jawab untuk memperbaiki layanan misalnya informasi rumah sakit," jelas Abet.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menganggarkan Rp 3,1 triliun untuk memenuhi tanggungan iuran BPJS Kesehatan bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas tiga sepanjang 2020. Ini sebagai konsekuensi penerapan Perpres 64/2020. Dalam regulasi tersebut, PBPU dan BP kelas tiga seharusnya dikenakan iuran Rp 42 ribu per Juli 2020. Tapi, pemerintah akan menanggung Rp 16.500 di antaranya sebagia bantuan iuran, sehingga peserta hanya membayar Rp 25.500.

Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani mengatakan, subsidi ini sebagai komitmen pemerintah untuk membantu masyarakat golongan menengah ke bawah. "Pemeritnah telah commit dan memasukkan ke anggaran 2020 sebesar Rp 3,1 triliun," tuturnya dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (14/5).

Pemerintah juga tetap memberikan subsidi pada tahun depan, namun dengan jumlah lebih kecil. Merujuk pada Perpres 64/2020, pemerintah akan membantu Rp 7 ribu, sehingga peserta hanya membayar Rp 35 ribu. Subsidi diberikan pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah.

Bahkan, mungkin saja masyarakat tidak perlu membayar sepenuhnya. Sebab, pemerintah daerah dapat membayarkan sisa iuran yang harus dibayarkan peserta, yakni Rp 35 ribu.

Askolani menekankan, subsidi yang diberikan merupakan bentuk bantuan pemerintah untuk dua aspek sekaligus, yakni peserta maupun instansi BPJS Kesehatan itu sendiri. "Ini dukungan membantu golongan kelas tiga PBPU dan BP agar tetap bayar Rp 25 ribu dan membantu kelangsungan BPJS agar lebih sustainable," katanya.

photo
Iuran BPJS batal naik - (republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement