Kamis 14 May 2020 20:19 WIB

Perpres 64/2020 dan Utang Jatuh Tempo BPJS Kesehatan

BPJS Kesehatan memiliki utang klaim jatuh tempo kepada RS sekitar Rp4,4 triliun.

Petugas keamanan berjaga di depan kantor BPJS Kesehatan di Bekasi, Jawa Barat, Rabu (13/5/2020). Pemerintah akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan pada 1 Juli 2020 seperti digariskan dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan dengan rincian peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp150.000, kelas II menjadi Rp100.000 dan kelas III menjadi 42.000.
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Petugas keamanan berjaga di depan kantor BPJS Kesehatan di Bekasi, Jawa Barat, Rabu (13/5/2020). Pemerintah akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan pada 1 Juli 2020 seperti digariskan dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan dengan rincian peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp150.000, kelas II menjadi Rp100.000 dan kelas III menjadi 42.000.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adinda Pryanka, Antara 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengeluarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan yang membuat iuran BPJS Kesehatan kembali naik mulai Juli 2020. Bagi Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, Perpres 64/2020 akan membuat pembiayaan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) tidak defisit pada 2020.

Baca Juga

"Proyeksinya kalau nanti Perpres 64 ini berjalan, kita hampir tidak defisit. Kurang lebih bisa diseimbangkan antara cash in dan cash out," kata Fachmi, Kamis (14/5).

Fachmi menerangkan, BPJS Kesehatan menanggung tunggakan klaim ke rumah sakit untuk tahun anggaran 2019 yang dibebankan pada 2020 sebesar Rp 15,5 triliun. Fachmi menjelaskan, kewajiban pembayaran klaim tersebut perlahan-lahan telah dilunasi oleh BPJS Kesehatan kepada rumah sakit hingga tinggal menyisakan utang yang jatuh tempo sebesar Rp 4,8 triliun.

Dengan adanya subsidi pemerintah kepada peserta mandiri kelas III yang dibayarkan di muka kepada BPJS Kesehatan sebesar Rp 3,1 triliun, utang jatuh tempo tersebut bisa segera diselesaikan. Apabila pemerintah tidak menerbitkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 yang memperbaiki struktur iuran peserta, dikhawatirkan bisa terjadi defisit keuangan pada BPJS Kesehatan yang akan berdampak pada keberlanjutan program JKN-KIS.

"Kalau tidak diperbaiki struktur iuran sebagaimana keputusan seperti sekarang, itu akan terjadi potensi defisit. Dan tentu kita tidak ingin program ini tidak berkelanjutan," kata Fachmi.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, BPJS Kesehatan memiliki utang klaim yang jatuh tempo kepada Rumah Sakit (RS) sekitar Rp 4,4 triliun per Rabu (14/5). Klaim ini belum dibayar setelah lebih dari 15 hari sejak dokumen diterima dan berpotensi dikenakan penalti.

Staf Ahli Menkeu Bidang Pengeluaran Negara Kemenkeu Kunta Wibawa Dasa mengatakan, salah satu yang mempengaruhi kondisi BPJS Kesehatan saat ini adalah Putusan Mahkamah Agung (MA). Diketahui, MA membatalkan kenaikan iuran jaminan kesehatan bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Peserta Bukan Pekerja (BP).

Dengan kondisi tersebut, Kunta menilai, kondisi BPJS Kesehatan menunjukkan masih perlu adanya banyak perbaikan. Khususnya untuk membayar klaim jatuh tempo yang berpotensi memperlebar defisit.

"Perlu ada upaya-upaya untuk mengurangi defisit BPJS tadi," katanya dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (14/5).

Di sisi lain, outstanding klaim BPJS Kesehatan tercatat sebesar Rp 6,21 triliun dengan utang klaim belum jatuh tempo senilai Rp 1,03 triliun. Sementara itu, yang sudah dibayar sejak 2018 senilai Rp 192,54 triliun.

Sebagai dampak putusan MA, Kunta menyebutkan, kondisi keuangan BPJS Kesehatan tahun ini diperkirakan mengalami defisit hingga Rp 6,9 triliun. Ini termasuk menampung carry over defisit tahun lalu yang mencapai Rp 15,5 triliun.

Mulai tahun depan, defisit tersebut berpotensi semakin melebar apabila tidak dilakukan langkah signifikan untuk menjaga kesinambungan program. Bahkan, putusan MA tersebut mempercepat terjadinya defisit Jaminan Kesehatan Nasional yang semula diperkirakan mulai tahun 2024, menjadi 2022.

Oleh karena itu, penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan menjadi upaya penyelematan BPJS Kesehatan.

Dalam regulasi tersebut, pemerintah membagi tiga segmentasi peserta untuk kebijakan iuran. Pertama, Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang seluruhnya akan dibayarkan pemerintah dengan besaran Rp 42 ribu.

"Untuk menjamin keberlangsungan, pemerintah daerah dapat berkontribusi dengan membayar iuran," ujar Kunta.

Nantinya, Kunta menambahkan, PBI hanya akan didata dari satu sumber yakni Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang mencakup 40 persen penduduk Indonesia terbawah.

Segmen kedua, Peserta Penerima Upah (PPU) Pemerintah/ Badan Usaha. Sesuai Perpres 64/2020, porsi pembayaran iuran untuk pemberi kerja adalah empat persen, sementara pekerja satu persen. Batasan paling tinggi adalah gaji dan tunjangan (Take Home Pay) Rp 12 juta dengan batas bawah sesuai UMR Kabupaten/ Kota.

Terakhir, Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (PB) yang terbagi menjadi dua, yakni mandiri dan pendaftaran oleh pemerintah daerah. "Pendaftaran pemda masuk cluster ini, tapi khusus untuk kelas tiga," ucap Kunta.

Untuk peserta mandiri kelas satu, besaran iurannya adalah Rp 150 ribu, sementara kelas dua mencapai Rp 100 ribu. Keduanya lebih rendah Rp 10 ribu dibandingkan iuran dalam Perpres 75/2019, regulasi yang semula ditujukan untuk mengubah Perpres 82/2018.

Sementara itu, bagi peserta kelas tiga, iuran yang dibayar adalah Rp 42 ribu. Tapi, Kunta menyebutkan, pemerintah akan menanggung Rp 16.500 pada tahun ini dan Rp 7 ribu pada tahun depan sebagai bantuan iuran. Tapi, Kunta menekankan, bantuan hanya akan diberikan ke peserta aktif.

Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani mengatakan, pemerintah telah menganggarkan Rp 3,1 triliun untuk memenuhi bantuan iuran PBPU dan BP kelas tiga. Tetapi, anggaran tersebut hanya berlaku untuk bantuan tahun ini.

"Anggarannya sudah kami masukkan dalam Perpres 54/2020 ( regulasi tentang perubahan postur APBN 2020)," katanya.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan, keputusan penyesuaian iuran BPJS Kesehatan yang baru saja dilakukan akan membuat kondisi keuangan mereka tidak lagi defisit. Kebijakan tersebut justru membuat keuangan intansi menjadi surplus pada tahun ini.

Staf Ahli Menkeu Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Kunta Wibawa Dasa memprediksi, surplusnya bahkan dapat mencapai Rp 1,76 triliun pada 2020. "Total surplusnya Rp 17,26 triliun, karena ada carry over Rp 15,5 triliun (dari tahun lalu)," ujarnya dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (14/5).

Prediksi Kunta tersebut memperhitungkan penyesuaian iuran BPJS Kesehatan yang sudah berlaku pada Juli. Khususnya untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) atau kerap disebut peserta mandiri. Penyesuaian tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Dalam regulasi itu, PBPU dan BP kelas satu naik menjadi Rp 150 ribu per bulan dari sebelumnya Rp 80 ribu. Sementara itu, peserta mandiri kelas dua naik dari Rp 51 ribu menjadi Rp 100 ribu. Keduanya berlaku pada Juli.

Terakhir, peserta kelas tiga naik dari Rp 25.500 membayar dengan besaran yang sama untuk tahun ini. Tapi, pada tahun depan, iuran mereka naik menjadi Rp 35 ribu per bulan.

Tapi, Kunta menegaskan, penyesuaian iuran tidak sekadar menutupi defisit atau menjadikan keuangan BPJS Kesehatan surplus. Lebih dari itu, Perpres 64/2020 ditujukan untuk menjamin keberlangsungan layanan kesehatan bagi seluruh peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

"Tidak hanya ke sana (menutupi defisit), tapi memperbaiki ekosistem jaminan kesehatan, bagaimana pelayanan kebutuhan kesehatan dasar, kelas standar dan hal-hal berkaitan agar ekosistem ini berkesinambungan," tuturnya.

Kunta mengatakan, kondisi keuangan BPJS Kesehatan yang diprediksi surplus juga sudah memperhitungkan hasil optimalisasi bauran kebijakan sebesar Rp 5,2 triliun. Sebanyak Rp 1,84 triliun di antaranya berasal dari perbaikan kolektibilitas dan Rp 3,8 triliun dari efisiensi klaim layanan.

Sementara itu, Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani menilai, manajemen dari pengelolaan pendanaan di BPJS Kesehatan sudah jauh membaik pada tahun ini dibandingkan tahun lalu. "Sehingga BPJS akan sangat komitmen untuk membantu cashflow pelayanan rumah sakit di seluruh wilayah Indonesia," ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement