REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Azwar Maas menekankan pentingnya mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di tengah pandemi dan pemerintah daerah seharusnya sudah mulai membuat peraturan daerah untuk mendukung pemadaman awal.
"Mungkin daerah sudah harus menganggarkan, jangan menggantungkan diri semata-mata dengan pusat dan tentu saja ini harus dimulai dengan perda (peraturan daerah)," kata Azwar dalam konferensi video penanganan karhutla yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Jakarta, Jumat (8/5).
Dia memuji beberapa perda yang sudah dibuat sebelumnya, tapi perlu kesatuan pendapat untuk membentuk perda yang terkait karhutla dalam situasi khusus pandemi Covid-19 seperti saat ini.
Selain itu, perlu dilakukan perbaikan tata air terutama untuk lahan gambut, baik di permukaan maupun kubahnya, sehingga konservasi air menjadi salah satu cara untuk mencegah karhutla di lahan-lahan tersebut.
Upaya pencegahan harus dilakukan karena sulitnya proses pemadaman, bahkan dia kurang yakin apakah bom air dapat efektif memadamkan api jika terjadi kebakaran di lahan lebih dari 5 hektare, karena jumlah volume air yang dibutuhkan besar.
"Memang saya lebih cenderung ke pemadaman awal ketika ada hotspot (titik panas) itu sangat penting. Jadi artinya, ini semua dukungan dana yang harus disiapkan di lokal itu, sebabnya saya lebih menekankan agar sudah ada dana khusus untuk pencegahan," kata dia.
Dana pencegahan itu bisa dikeluarkan untuk pengadaan air dan pembuatan sekat kanal serta sumur bor. Langkah-langkah itu perlu dilakukan sebagai bentuk pencegahan bukan penanggulangan dimana sudah terjadi karhutla.
Dia juga memperingatkan adanya kebutuhan masker yang meningkat jika karhutla tetap terjadi di tengah pandemi Covid-19.
Hal itu juga diakui oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Wiendra Waworuntu. Ia mengatakan belum pernah ada sebelumnya dibuat rencana kontingensi ketika terjadi karhutla dan pandemi di saat bersamaan.
"Kalau combine dengan pandemi, harus ada yang kita buat antara BNPB dengan Kemenkes, mungkin bersama-sama kita duduk untuk menentukan apa yang harus kita lakukan. Karena pandemi akan mau puncak, kemudian akan terjadi kemarau. Ini satu strategi yang harus kita atur," kata Wiendra dalam konferensi video itu.
Hal itu penting, kata dia, mengingat jika terjadi karhutla, potensi infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akan semakin tinggi. Jika dikombinasi dengan Covid-19 tentunya akan memperberat kondisi pasien yang terpapar penyakit yang menyerang pernapasan itu.