REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengalihkan sebagian anggaran dana desa untuk program jaring pengaman sosial bagi warga yang terdampak Covid-19. Bantuan langsung tunai (BLT) yang diambil dari dana desa ini akan menyasar 12,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dengan indeks Rp 600 ribu per bulan selama tiga bulan hingga Juni 2020. Total anggarannya, sekitar Rp 21 triliun dari APBN.
BLT dana desa menambah sederet bansos, baik tunai dan nontunai, yang disiapkan pemerintah sebagai jaring pengaman sosial Covid-19. Bansos khusus Covid-19, di antaranya adalah BLT dana desa, bansos tunai bagi warga non-Jabodetabek, dan bansos sembako bagi warga Jabodetabek. Selain itu masih ada program reguler seperti PKH, bantuan pangan nontunai (BNPT) untuk sembako, dan kartu prakerja.
Banyaknya bansos yang dirancang berpotensi justru membuat masyarakat kebingungan dengan hak-hak yang bisa mereka dapat. Khusus untuk bansos dana desa, siapa saja yang berhak mendapatkannya?
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes) Abdul Halim Iskandar menjelaskan, perubahan prioritas penggunaan dana desa demi penanganan Covid-19 ini tertuang dalam Peraturan Menteri Desa (Permendes) Nomor 6 Tahun 2020. Dalam beleid tersebut, ujar Mendes, diatur dengan rinci siapa saja warga desa yang berhak menerima bansos tunai dari dana desa.
"Siapa sasaran BLT desa? Warga miskin yang kehilangan mata pencaharian karena Covid-19 dan belum mendapat apapun dari kebijakan pemerintah. Jadi belum dapat PKH, belum dapat BPNT dan segala bentuk jaring pengaman sosial yang ada," jelas Abdul dalam keterangan pers di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (8/5).
Kriteria lain bagi penerima BLT dana desa, ujar Abdul, adalah keluarga yang memiliki anggota dengan riwayat penyakit kronis seperti darah tinggi, gagal ginjal, jantung, atau bentuk penyakit menahun lainnya. "Kenapa yang berpenyakit kronis dimasukkan? Karena kedekatan Covid-19 dengan penyakit menahun," ujar Mendes.
Banyaknya jenis bansos yang disalurkan pemerintah membuat penyaluran bansos rawan tumpang tindih antara satu dengan lainnya. Demi mencegah hal itu terjadi, pemerintah mengoptimalkan pendataan yang dilakukan relawan desa.
Abdul menjelaskan, pendataan warga penerima BLT dana desa dilakukan relawan desa yang diketaui langsung oleh Kepala Desa. Basis data warga penerima bantuan bersumber dari masing-masing Rukung Tetangga (RT). Nantinya, setiap RT akan didata oleh minimal tiga orang relawan desa.
"Karena ini pendataan baru, meski merujuk pada DTKS, tapi yang didata adalah keluarga miskin akibat kehilangan mata pencaharian, maka dibutuhkan pendefinisian miskin," kata Abdul Halim.
Karena kriteria penerima BLT dana desa tergolong baru, ujar Abdul, maka dibutuhkan kesepakatan minimal tiga orang relawan untuk memutuskan apakah suatu keluarga memang berhak dan layan menerima bansos atau tidak.
"Definisi miskin kalau dipikir indikator terlaku rumit tidak akan bisa ketemu, maka indikatornya ya mereka yang miskin akibat kehilangan mata pencaharian. Pendataan dilakukan 3 orang, agar ada kesepemahaman bahwa si keluarga itu miskin," jelasnya.
Data dari RT ini kemudian akan dilaporkan oleh relawan kepada Musyawarah Desa Khusus untuk dilakukan validasi dan verifikasi. Menurut Abdul, validasi data di level Musdesus penting dilakukan agar seluruh input data dilakukan secara transparan.
"Setelah disepakati di Musdesus baru disepakati Kepala Desa. Ini memberi ruang bagi kepala desa agar tidak jadi tumpuan kesalahan ketika ada pendataan yang kurang akurat," katanya.
Data yang sudah diteken Kepala Desa kemudian dibawa ke level Kabupaten atau Kota. Di level tersebut, dilakukan kembali sinkronisasi agar tidak terjadi tumpang tindih bantuan yang bersumber dari pusat, seperti PKH atau BPNT. "Dalam konteks BLT ini kuncinya dua. Pertama kecukupan, kedua ketepatan sasaran," jelasnya.
Abdul menambahkan, mulanya pengalihan dana desa digunakan untuk jaring pengaman sosial bidang kesehatan dan ketahanan ekonomi. Bentuknya programnya adalah desa tanggap Covid-19 dan padat karya tunai desa. Namun seiring berjalannya waktu, Presiden Jokowi memutuskan agar pengalihan dilakukan dengan pemberian bansos tunai.