REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Gempa di Laut Banda dengan magnitudo 7,3 yang kemudian dimutakhirkan menjadi magnitudo 6,9 pada Rabu (6/5) malam tidak menimbulkan tsunami. Namun gempa tersebut memperlihatkan bahwa gempa terjadi di "sarang" gempa-gempa kuat.
"Lokasi hiposenter Gempa Banda tadi malam berada di kawasan yang menurut catatan sejarah gempa merupakan 'sarang' gempa kuat di Zona Subduksi Banda," kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono, Kamis (7/5).
Dia mengatakan berdasarkan catatan gempa dahsyat di lokasi tersebut sudah terjadi beberapa kali, yaitu Gempa Banda 1918 dan 1950 dengan magnitudo 8,1, pada 1963 magnitudo 8,2 dan terakhir 2019 magnitudo 7,7. Beberapa gempa kuat ini dirasakan guncangannya hingga Benua Australia.
Berdasarkan lokasi episenter dan kedalaman hiposenternya, gempa tersebut terjadi akibat adanya deformasi batuan pada bagian Lempeng Banda di Zona Benioff, sehingga Gempa Laut Banda itu hiposenternya cukup dalam. Meskipun mekanisme sumbernya sesar naik (thrust fault), tidak berpotensi tsunami.
Selain itu, gempa kuat di Laut Banda adalah gempa yang berpusat di kedalaman menengah yaitu 97 km, munculnya gempa kuat di kedalaman menengah ini sebenarnya sudah ditandai dengan munculnya aktivitas gempa-gempa kecil yang membentuk klaster pusat gempa menengah sejak April 2020.
Gempa tersebut bersumber dari Banda slab (Lempeng Banda yang tersubduksi) dan tidak bersumber di Banda Detachment (bidang gelincir patahan Banda) di zona Weber Deep seperti yang disinggung beberapa warganet di media sosial.
Karena hiposenternya yang cukup dalam, gempa tersebut memiliki spektrum getaran yang dirasakan mencakup wilayah yang sangat luas. Guncangan gempa dilaporkan dirasakan hingga di Manokwari dan Waingapu.
"Peristiwa gempa kuat di Laut Banda tadi malam menjadi salah satu bukti bahwa sistem subsuksi Laut Banda memang masih sangat aktif," ujar Daryono.