Sabtu 02 May 2020 10:28 WIB
Cirebon

Wabah Malaria dan Merosotnya Perekonomian Cirebon Abad XX

Kisah wabah dan merosotnta ekonomi Cirebon

Akibat Malaria di Cirebon 1922.
Foto:

Koran Bintang Tjirebon yang terbit 12 Mei 1914 itu menyesalkan tindakan pemerintah kota yang tidak cepat melakukan preventif dan kuratif. Dalam koran Bintang Tjirebon 13 Juni 1915 dan Pribumi 24 November 1921, kritikan kepada pemerintah atas kasus-kasus malaria memenuhi beberapa lembar koran. Kritikan itu banyak menyoroti kasus wabah malaria yang melanda para buruh di beberapa proyek pembangunan, pabrik, dan di pelabuhan.

Kritikan itu bernada saran kepada pemerintah kota Cirebon untuk lebih meperhatikan kesehatan para buruh yang terus dipaksa bekerja dalam keadaan sakit dan saat malaria mewabah.

Jelas dalam hal ini pemerintah tidak mau dirugikan akibat berkurangnya tenaga buruh. Pekerjaan mereka sangat berarti bagi roda perekonomian negara. Maka saat itu pemerintah tidak menanggapi berbagai kritikan yang beredar di berbagai media massa.

Berita dari kedua koran itu kemudian baru disadari oleh pemerintah di tahun 1925. Pemerintah kota Cirebon mengalami kerugian perekonomian yang besar setelah berkurangnya jumlah buruh akibat malaria dan meninggal dunia tanpa ditangani secara cepat. Mereka dipaksa bekerja dalam keadaan sakit hingga meninggal dan berdampak pada jumlah produksi terutama dari perkebunan, pabrik gas, dan pabrik gula.

Een Republikeinse kazemattenstelling is ingenomen

           Keterangan Foto: Sebuah sungai di Cirebon 1947.

Buku Gedenkboek der Cheribon 1906-1930, yaitu buku laporan para residen Cirebon, mengulas tentang Malariabestrijding atau penangan malaria. Dalam laporan itu disebutkan bahwa berkurangnya jumlah buruh di tahun 1925 akibat wabah malaria berdampak besar pada kemerosotan setoran hasil produksi.

Pemerintah merasakan kepahitan ini setelah hasil perkebunan anjlok secara drastis. Pemerintah baru menyadari bahwa kasus malaria sungguh mengacaukan kondisi pekerjaan dan menurunkan perekonomian negara. 

Upaya Menangani Wabah Malaria

Mulai tahun 1926 pemerintah menangani wabah malaria secara serius. Menurut berita koran Koemandang Masjarakat tanggal 25 Mei 1940, ada beberapa upaya yang dilakukan pemerintah dalam menangani kasus wabah malaria.

Pertama; pemerintah mulai memperhatikan para buruh di lokasi proyek pembangunan jalan raya dan penggalian tanah.

Kedua; pemerintah mulai melakukan perbaikan pemukiman di kota (kampoeng verbatering) dan kebutuhan air bersih untuk masyarakat pribumi. 

Ketiga; pemerintah mulai menerima kritikan dari media massa secara bijak. Dalam menanggapi kritikan itu, pemerintah membuat program penelitian atas wabah malaria yang dilakukan oleh para peneliti dari Batavia bekerjasama dengan pemerintah kota Cirebon.

Keempat; pemerintah mengangkat seorang kontrolir untuk mengawasi perbaikan jalan dan pasar (passer-controleur) dan menangani lingkungan proyek sebagai tindakan perventif.

Namun, seringkali para kontrolir ini tidak bekerja sesuai aturan. Mereka memanfaatkan tugasnya untuk mengurangi setoran hasil perkebunan dan pajaknya kepada pemerintah. Di lapangan, mereka memungut pajak ilegal berlipat-lipat dari para pedagang di pasar-pasar, hanya untuk kepentingannya sendiri.  Mereka enggan mengawasi para buruh di pasar dan lingkungan yang rawan wabah karena alasan bukan tanggungjawabnya. Tugas itu dipandangnya sebagai tanggungjawab para dokter.

Alhasil, malaria tetap mewabah. Akibat wabah malaria itu kondisi perekonomian pemerintah merosot. Kondisi para buruh pun tidak berubah. Mereka tetap tinggal di lingkungan yang kumuh, tidak ada celah udara dan sinar matahari, dan sempit yaitu hanya berukuran 7-9 m2 untuk 50 jiwa.

Oleh karena itu, di satu sisi, kemerosotan perekonomian pemerintah dibuat oleh para kontrolir sebagai oknum pemerintah. Di sisi lainnya, pemerintah sendiri membuka peluang kerugian atas perekonomiannya karena tidak serius dalam memperhatikan para buruh yang menjadi penggerak roda perekonomian dan tidak ketat mengawasi kontrolir.

Kondisi itu, membuat Dinas Kesehatan Provinsi turut andil dalam menangani kasus wabah malaria di Cirebon yang tidak pernah berakhir akibat adanya penyimpangan-penyimpangan tugas seperti itu. Pada pertengahan tahun 1926, Dinas Kesehatan Provinsi menugaskan dr. Boy dan beberapa dokter lainnya untuk turun lapangan dan menangani urusan wabah malaria di berbagai daerah kumuh dan berrawa di Cirebon. Para dokter itu pun ditugaskan untuk memeriksa kesehatan para buruh pelabuhan, buruh pembangunan jalur kereta api, dan buruh pabrik gula.

Koran Bataviaasch Nieuwsblad yang terbit di tanggal 17 Juni dan 25 Juli 1926 memberitakan kedatangan Prof. Rodenwalt, seorang ilmuan Eropa yang dikirim dari Belanda untuk meneliti lingkungan kota Cirebon yang kotor yang menjadi sarang nyamuk malaria. Prof. Rodenwalt dan dr. Boy melakukan penelitian di Cirebon. Keduanya kemudian mengusulkan program pembersihan desa dan perkampungan sekitar kota kepada Dinas Kesehatan Kota Cirebon dan pemerintah kota.

Kerjasama itu difokuskan untuk menghilangkan lingkungan kumuh dan mengurug lubang jalan yang sering menjadi sarang nyamuk di musim hujan.

Kerjasama itu semakin terlihat ketika mengkampanyekan pil kina kepada para buruh dan para pasien malaria. Kampanye kebersihan dan pil kina dipandang oleh tim itu berhasil karena dapat menekan jumlah penderita malaria. Namun di kemudian hari, pemerintah kota Cirebon berbeda pandangan.

Sejak kunjungan Prof. Rodenwalt dan dr. Boy itu, Cirebon semakin dikenal di beberapa laporan pejabat pemerintah di Hindia Belanda sebagai daerah kasus malaria tertinggi di tahun 1914-1926. Maka pasal inilah yang memicu perbedaan pandangan antara pemerintah kota dengan tim dokter. Kemarahan pemerintah kota juga terjadi kepada Dinas Kesehatan Kota. 

Pemberitaan kasus wabah malaria dipandang sebagai aib pemerintah kota Cirebon yang tidak semestinya menyebar. Jumlah kematian korban penyakit malaria pun dipandang tidak semestinya menjadi sorotan di beberapa rapat pejabat di Hindia Belanda. 

Sikap pemerintah kota Cirebon seperti tiu berlanjut pada penghentian gaji atau upah bagi para dokter, hingga akhirnya, para dokter mogok kerja.

Saat yang bersamaan, pasien malaria terus bertambah. Beberapa media massa menyebutkan bahwa antara tahun 1914-1926  peristiwa wabah malaria mengakibatkan perekonomian pemerintah kota Cirebon bangkrut.

---------------------

* Catatan di atas memberi pelajaran kepada kita tentang pentingnya solidaritas terhadap semua lapisan masyarakat. Solusi lockdown di masa wabah perlu secara serempak untuk semua lapisan masyarakat mulai dari pemilik perusahaan hingga para buruhnya. Kebijakan meningkatkan nilai produksi ekonomi penting adanya keselarasan dengan solidaritas kerja di setiap lembaga. Dengan begitu dapat mempercepat memutus pola persebaran wabah.

Wallahu ‘alam

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement