Sabtu 02 May 2020 10:28 WIB
Cirebon

Wabah Malaria dan Merosotnya Perekonomian Cirebon Abad XX

Kisah wabah dan merosotnta ekonomi Cirebon

Akibat Malaria di Cirebon 1922.
Foto: ANRI Jawa Barat
b. Buruh gudang sedang berjalan menuju dokter dalam wabah Malaria di Cirebon awal dekade 1900-an.

Kabar tentang nama penyakit ‘yellow fever’ menyebar di wilayah Hindia Belanda di akhir abad ke-19. Laporan pemerintah, yaitu Kolonial Verslag tahun 1883-1884 menyebutkan adanya kasus penyakit itu dan mewabah di masyarakat. Laporan itu menyebut penyakit ‘yellow fever’ adalah malaria seperti hasil penelitian di Amerika tersebut.

Di Cirebon, penyakit malaria menyerang penduduk pada tahun 1882. Dalam laporan pemerintah itu, tercatat sejumlah 3.900 orang penderita malaria meninggal dunia di bulan Januari 1882. Dalam hitungan lima bulan, jumlah penderita meningkat tinggi. Yaitu di bulan Mei 1882 jumlah penderita malaria menjadi 10.919 orang. Wabah malaria terutama menyerang para buruh yang tinggal di lingkungan  yang kumuh dan berawa.

Kondisi itu pun memang terjadi di beberapa daerah di Jawa, seperti Batavia, Semarang, Probolinggo, Besuki, dan Banyumas. Namun, dalam Kolonial Verslag tahun 1883-1884 disebutkan bahwa daerah Cirebon merupakan daerah kasus malaria yang tertinggi dibanding daerah-daerah tersebut.  Dugaan pemerintah kota Cirebon, daerah yang banyak berkembang bibit malaria di Cirebon adalah daerah-daerah yang dipenuhi rawa-rawa di sekitar pantai dan pinggir sungai.

Bila berdasar pada laporan di atas, pengetahuan tentang malaria bukanlah hal yang asing bagi pemerintah kota Cirebon saat itu. Laporan itu pun menyebutkan bahwa penyakit ‘yellow fever’ atau malaria disebabkan udara yang kotor, lembab, dan basah sebagai dampak dari lingkungan yang kotor.

Namun, anehnya, sampai pertengahan abad ke-20, kepada media massa, pemerintah kota Cirebon selalu menyebut penyakit malaria sebagai ‘penyakit yang tidak dikenal’.  Rupanya, dari informasi koran Bataviaasch Nieuwsblad (1915) dapat dipahami alasan-alasan pemerintah  mengatakan demikian, di antaranya;

Pertama; pemerintah tidak ingin disebut sebagai penyebab kemunculan wabah malaria di kota. Setelah pemerintah mengizinkan proyek penggalian tanah di tahun 1912, untuk perusahaan kereta api Semarang-Cirebon dan Cirebon-Cikampek-Batavia, lokasi sekitar proyek itu menjadi kotor dan berlumpur. Daerah Kejaksan sebagai pusat pemerintahan menjadi daerah terparah terpapar wabah malaria.

Namun pemerintah bersikap apatis atas kejadian ini. Para buruh di proyek itu tetap wajib kerja sekalipun sakit. Para peneliti yang dikirim ke Cirebon memprotes pemerintah agar menghentikan proyek itu selama wabah malaria belum teratasi. Namun pemerintah beralasan bahwa tidak pernah tahu tentang penyakit itu. Pemerintah tetap mengizinkan pelaksanaan proyek penggalian tanah demi mempercepat proyek pembuatan rel kereta api yang akan memperlancar distribusi hasil perkebunan dan olahannya ke kota.

Kedua; pemerintah lepas tangan atas kasus para buruh yang terserang demam, diare berdarah disertai muntah darah, bahkan pendarahan di sekitar pori-pori tubuhnya. Pemerintah beranggapan kalau mengurus buruh sakit adalah bukan tanggungjawabnya. Buruh yang sakit malaria dipandang pemerintah sebagai kesalahannya sendiri karena tidak dapat memelihara kebersihan lingkungannya.

Pemerintah juga merasa kalau penyakit malaria di daerah iklim tropis adalah penyakit yang aneh karena tidak pernah terjadi di Eropa.  Para dokter peneliti pun menyebut penyakit itu sebagai  ‘penyakit tak dikenal’, sekalipun beberapa koran Eropa di tahun itu telah menyebut penyakit malaria. Oleh karena itu para buruh tetap dituntut wajib kerja sekalipun mereka sakit.

Informasi dari koran lokal, Bintang Tjirebon pada 12 Mei 1914, menjelaskan adanya penyakit malaria di masyarakat disebabkan lingkungan kotor yang dibiarkan lama, sikap aptis pemerintah terhadap para penderita, dan kesalahan pemerintah yang selalu mendatangkan para buruh ke kota Cirebon dalam jumlah banyak. Kepadatan penduduk akibat migrasi itu di tahun itu telah membuat percepatan persebaran nyamuk malaria tidak terkendali.

Dokter Spaarwoude Wermesinger, yang ditugaskam Dinas Kesehatan Kota untuk memeriksa pasien-pasien penderita malaria. Mereka mengalami demam yang tidak turun dalam waktu 5 hari. Namun, para pasien meninggal pada hari kelima sakitnya. Dokter Spaarwoude Wermesinger pun menyebutkan kalau para pasien ini menderita malaria. Kebanyakan pasien malaria adalah para buruh yang tinggal di lingkungan yang padat dan kumuh.

Maka dari kesimpulan koran itu, bahwa sebenarnya penyakit malaria sudah dapat terdeteksi sebelum masa 10 hari. Nama penyakit ini pun bukan hal yang asing, sehingga dapat dikenali dan diatasi dengan cepat sebelum terjadi pendarahan pada pasien. Namun sikap apatis pemerintah tidak membuat wabah malaria berakhir secara cepat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement