REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI - Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana mengatakan tidak akan mudah bagi siapapun yang menggugat China karena pemerintah China tidak akan memberi akses kepada siapapun untuk mendapatkan bukti-bukti yang diperlukan dari negara tersebut.
"Permasalahan utama dalam mendapat ganti kerugian yang diderita adalah kemana gugatan itu dilayangkan, apa yang menjadi dasar gugatan dan apakah putusan dapat dieksekusi," ujar Hikmahanto Juwana dalam keterangan tertulis, Rabu (29/4).
Bila gugatan dilayangkan ke pengadilan di suatu negara maka pemerintah China akan mudah mematahkannya dengan alasan pemerintah China memiliki kekebalan (immunity) di lembaga peradilan nasional.
Bila diajukan ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice) atau arbitrase internasional seperti Permanent Court of Arbitration maka China harus menyatakan persetujuan terlebih dahulu untuk menjadi pihak yang digugat.
"Tentu pemerintah China tidak akan memberikan persetujuan tersebut. Intinya membawa pemerintah China ke lembaga peradilan maupun arbitrase nasional maupun internasional akan sia-sia, sekalipun yang mengajukan adalah pemerintah suatu negara," katanya.
Kalaupun ada lembaga peradilan yang menyatakan berwenang untuk mengadili, isu berikutnya adalah apa yang menjadi dasar gugatan. Dasar yang digunakan oleh banyak pihak adalah tidak transparannya pemerintah China diawal penyebaran Covid 19. Dalam hukum pihak yang menggugat wajib membuktikan apa yang didalilkan.
"Kalaulah ada suatu pengadilan yang memutuskan China bersalah dan mewajibkan pembayaran ganti rugi, permasalahan berikutnya adalah bagaimana putusan tersebut dieksekusi. Satu hal yang pasti pemerintah China tidak akan dengan sukarela menjalankan putusan," ujar Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani itu.