Selasa 28 Apr 2020 20:46 WIB

KKP Ingin Kembangkan Desa Wisata Hiu Paus

Atraksi wisata hiu paus sebagai bagian dari pengembangan desa wisata (dewi) bahari.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Agus Yulianto
Sejumlah wisatawan berenang bersama seekor Hiu Paus di perairan Botubarani, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Ahad (21/4/2019).
Foto: Antara/Dian Bawenti
Sejumlah wisatawan berenang bersama seekor Hiu Paus di perairan Botubarani, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Ahad (21/4/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) berencana menjadikan atraksi wisata hiu paus sebagai bagian dari pengembangan desa wisata (dewi) bahari.

Direktur Jasa Kelautan (Jaskel) Ditjen PRL Miftahul Huda mengatakan atraksi ini dapat  meningkatkan nilai tambah ekonomi masyarakat mengingat hiu paus memiliki daya tarik untuk dikembangkan sebagai aset wisata bahari. Huda menyebut, hiu paus akan menjadi bagian dari pengembangan dewi bahari dengan tetap menjaga keberlangsungan biota tersebut.

"Kami berharap dengan pengembangan dewi bahari dengan ekosistem yang ada, biota yang ada, berkembang juga nilai tambah ekonomi masyarakat," ujar Huda dalam siaran pers yang diterima Republika di Jakarta, Selasa (28/4).

Ia berharap, ketika masyarakat terlibat dari awal, mulai dari proses perencanaan hingga eksekusinya, mereka dengan sendirinya akan ikut melestarikan biota tersebut dan memperbaiki kondisi pemukimannya.

Huda menjelaskan, ketika hiu paus menjadi bagian dari pengembangan dewi bahari, maka proses perencanaannya akan berbasis komunitas. Tahapan pengembangannya terdiri atas perencanaan berbasis komunitas, pembinaan, pembangunan infrastruktur, pengembangan ekonomi, dan monitoring evaluasi.

Konsep dewi bahari, tidak hanya mengangkat hiu pausnya, tetapi juga akan mengembangkan desanya, sehingga tumbuh aktivitas ekonomi yang lain.

"Jangan sampai keberadaan hiu paus hanya dinikmati sebagian orang atau pelaku wisata tetapi masyarakat desa tertinggalkan. Dengan konsep itu kita ingin melihat partisipasi desa dari sisi ekonomi dan dari sisi upaya pelestarian biota yang ada di sana," ucap Huda.

Huda mengatakan, perairan Indonesia merupakan habitat hiu paus, hal ini terbukti dengan seringnya jenis biota ini ditemui di beberapa wilayah perairan Indonesia seperti perairan Sabang, Situbondo, Botubarani Bonebolango, Talisayan Berau, Pantai Bentar Probolinggo, Laut Sawu NTT, Teluk Saleh NTB, Kaimana, dan Teluk Cenderawasih Papua.

"Di beberapa lokasi, kemunculannya telah dijadikan sebagai atraksi wisata bahari. Kegiatan wisata bahari yang dilakukan di lokasi kemunculan hiu paus meliputi aktivitas pengamatan melalui perahu, aktivitas snorkeling dan menyelam," lanjut Huda.

Kepala Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar Andry Sukmoputro menyampaikan di Botubarani Gorontalo, pengembangan wisata hiu paus telah dimulai sejak 2015, saat liputan hiu paus berinteraksi dengan manusia dipublikasikan di media sosial. Hiu paus menarik karena dikenal jinak sehingga menjadi daya tarik sebagai biota wisata walaupun secara faktual, hiu paus merupakan biota yang dilindungi secara penuh.

Mengenai rencana pengembangan wisata hiu paus di Botubarani Gorontalo, pihaknya sudah melakukan beberapa kajian termasuk potensi dan permasalahannya, juga model penataan zonasi yang akan diterapkan, kemudian bagaimana cara berinteraksi dengan hiu paus dan model pengembangannya.

"Kita juga sudah buatkan dalam bentuk roadmap," ujar Andry.

Andri mengungkapkan, masyarakat nelayan di Botubarani Gorontalo mendapat pemasukan dari menyewakan perahunya untuk melihat hiu paus. Satu paket penyewaan kapal dan makanan (kepala udang) hiu paus dikenakan biaya sebesar Rp 80 ribu. Pada 2016, tercatat 32 ribu wisatawan yang datang menyewa perahu, sementara pada 2017 terdapat 13 ribu wisatawan, pada 2018 tercatat 18 ribu wisatawan, dan 2019 terdapat 12.465 wisatawan yang datang ke lokasi setempat.

Andry menilai hal ini merupakan potensi besar untuk dikembangkan di Botubarani.   "Menyewa satu paket alat selam dikenakan biaya Rp 500 ribu, bisa dibayangkan jika seandainya 30 persen wisatawan datang menyewa, maka rata-rata bisa mencapai Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar ekonomi yang bisa bergerak di sana," kata Andy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement