Selasa 28 Apr 2020 16:55 WIB

Mengejar Target Kurikulum, Mungkinkah?

Mengejar target kurikulum akan sulit terjadi di tengah keterbatasan PJJ.

Siswa mengerjakan tugas didampingi ibunya dirumahnya, di  Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Selasa (14/4/2020). Pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak mudah bagi banyak orang tua dan murid, sebab sejumlah kendala,
Foto: Makna Zaezar/ANTARA FOTO
Siswa mengerjakan tugas didampingi ibunya dirumahnya, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Selasa (14/4/2020). Pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak mudah bagi banyak orang tua dan murid, sebab sejumlah kendala,

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Inas Widyanuratikah, Ali Yusuf

Pembelajaran jarak jauh (PJJ) bukan perkara mudah. Memasuki sebulan sudah belajar dari rumah, ada sejumlah kritik yang dirasa perlu diperbaiki dari praktik belajar dari rumah.

Baca Juga

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melakukan survei terhadap 602 responden guru terkait pelaksanaan PJJ. Salah satu hasilnya adalah sebagian besar guru masih berfokus kepada pencapaian kurikulum sesuai perencanaan di awal.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan dalam Masa Darurat Coronavirus Disease (Covid-19) tidak mewajibkan sekolah mencapai kurikulum secara utuh. Sebab, seluruh pihak saat ini sedang beradaptasi melakukan PJJ dan belajar secara daring dinilai tidak seefektif pertemuan tatap muka di sekolah.

Berdasarkan survei yang dilakukan KPAI dan FSGI, sebanyak 53 persen guru masih berusaha menyelesaikan target capaian kurikulum sampai selesai sesuai dengan perencanaan. Sementara 24,4 persen guru menyelesaikan kurikulum pembelajaran apa adanya, dan 22,6 persen guru tidak mengejar ketercapaian kurikulum.

Wakil Sekretaris Jenderal FSGI, Satriwan Salim, menilai masih banyaknya guru tetap berusaha mencapai target kurikulum karena sudah terbiasa. Ia memandang, guru-guru secara psikologis masih merasa memiliki utang apabila kurikulum yang sudah ditetapkan tidak tercapai.

Ia mencontohkan, misalnya guru yang sudah 10 tahun lebih mengajar sudah terbiasa fokus pada capaian kurikulum ketika mengisi rapor siswa. Saat ini, pandangan tersebut harus berubah karena kondisi yang tidak memungkinkan.

Hal ini kemudian menjadi sulit. Karena secara psikologis guru ingin tetap mencapai targetnya.

Namun, di satu sisi hal ini bertentangan dengan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 yang sudah disosialisasikan Kemendikbdud. "Berarti SE ini ada yang tidak sampai pesannya," kata Satriwan, dalam konferensi pers secara daring Selasa (28/4).

Menurut Satriwan, untuk mengatasi hal ini perlu ada sosialisasi yang berfokus kepada kepala sekolah. Sebab, kata dia, guru akan bertindak sebagaimana kepala sekolah menetapkan kebijakan.

Ia mengatakan, kepala sekolah yang tegas meminta guru untuk tidak perlu mencapai target kurikulum saat ini sangat dibutuhkan. Apabila guru tetap ingin mencapai target capaian kurikulum, maka hal ini akan memberatkan siswa.

"Di sini kami meminta kepada kepala sekolah, yang tegas. Guru itu bagaimana kepala sekolah kok. Tegas, bapak ibu guru tidak usah mengejar kurikulum. Artinya, keadaan darurat khusus perlakuannya pun harus khusus. Jadi, dibutuhkan ketegasan kepala sekolah untuk memberikan instruksi kepada guru untuk tidak mengejar kurikulum," kata Satriwan.

Sementara itu, Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Retno Listyarti mendorong guru, kepala sekolah, pengawas, dan dinas pendidikan daerah agar mengutamakan proses pembelajaran ketimbang mengecar tercapainya kurikulum. Fleksibilitas dan kelonggaran dalam standar penilaian harus diberikan kepada siswa di tengah situasi darurat ini.

"Tidak hanya meringankan beban siswa dan orang tua, tetapi juga membantu guru dalam pengurangan beban administrasi pembelajaran. Tapi guru lebih berorientasi pada kualitas kebermaknaan dalam pembelajaran (meaningfull learning) yang dirasakan siswa," kata Retno.

Menanggapi hal tersebut, Plt. Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (PAUD Dikdasmen) Hamid Muhammad mengatakan sosialisasi sudah dilakukan. Kemendikbud saat ini juga masih terus melakukan sosialisasi kebijakan mengenai belajar dari rumah ke seluruh sekolah.

"Rakor dengan disdik seluruh Indonesia juga sudah dilakukan untuk minta guru hanya memilih materi-materi pokok untuk diberikan kepada siswa, tanpa harus menuntaskan target kurikulum seperti biasanya," kata Hamid.

Satu lagi kendala yang paling dirasakan orang tua saat PJJ. Yaitu urusan kuota data internet untuk belajar yang dipandang memberatkan.

Selain orang dewasa yang mengerjakan pekerjaannya di rumah dengan koneksi data internet, anak-anak sekolah membutuhkan kuota data untuk belajar. Misalnya Azra Benazir (12) Kelas 6 di SDIT Al Mawwadah, Cibinong Bogor.

Ia mengaku kali ini hampir setiap saat dia memegang ponsel dan sudah pasti harus ada pulsanya. Padahal sebelumnya orang tuanya melarang keras menggunakan gawai demi mengurangi efek buruk.

"Sekarang satiap hari pegang HP untuk mengurus tugas. Karena semua pelajaran dari sekolah harus dikerjakan di tengah kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)," katanya saat berbincang dengam Republika, Selasa (28/4).

Ia merincikan, di antara tugas yang dikerjakan menggunakan ponsel dan koneksi internet di antaranya pelajaran Matematika, IPS, Bahasa Indonesia, IPA, PKN, SBK (seni budaya dan ketrampilan). Menurutnya, setiap pelajaran bisa memakan waktu 30 menit.

"Semua pelajaran itu menggunakan kouta internet," katanya.

Ia menceritakan, ketika paket data pulsanya masih banyak bisa lancar mengerjakan tugas karena tidak banyak loading. Sehingga tugas cepat selesai dikerjakan dalam waktu singkat.

Ia mengaku mulai kesal ketika pulsa sudah semakin tipis sehingga harus menunggu loading. Selain itu kata dia tidak nyaman dengan sistem belajar ini ketika mengerjakan pelajaran yang belum diajarkan di sekolah.

"Seperti misalkan IPA itu orbit luar angkasa," katanya.

Sementara itu orang tua Azra Benazir, Safari Sidakaton, mengeluhkan dengan perubahan sikap anaknya yang harus berjam-jam memegang gawai. Menurut dia kebijakan ini selain menguras waktu anak-anak juga menguras paket data.

Karena selama ini segala informasi yang didapat dari sekolah, dan belajar menggunakan internet, pascaada kebijakan sosial ditancing dan PSBB sampai 29 Mei 2020. Ia berharap pemerintah memberikan kebijakan dengan memberikan subsidi pulsa.

"Saya berharap ada kebijakan dari pemerintah untuk memberikan pulsa gratis untuk belajar di rumah. Agar belajar di rumah bisa lancar," katanya.

Sementara itu, Prita (45) seorang ibu rumah tangga mengaku tidak bekerja dengan menggunakan HP. Gawainya dia gunakam hanya sekilas. Hal ini kata dia berbeda dengan anak-anaknya yang tiap saat jadi menggenggam gawai.

"Menggunakan HP sekedar aja, karena harus urusin suami, anak-anak dulu. Selain itu juga harus urus rumah, masakan, cucian dan lainnya," katanya.

Ia mengaku, baru bisa pegang HP ketika semua sudah selesai baru bisa menyempatkan memegang HP.  Prita barus biasa megang HP itu ketika menjelang malam atau mau tidur.

"Apalagi di saat bulan suci Ramadhan. Kesibukan bertambah yakni harus menyiapkan sahur dan buka puasa," katanya.

Prita mengatakan, HP biasanya digunakan untuk membuka video atau gambar yang dikirim teman-temam melalui japrian atau group WhatsApp. Di bulan puasa ini, biasanya isi video berupa potongan ceramah atau kajian Ramadhan.

"Ada juga gambar atau video yang lucu-lucu. Ada juga yang kirim streaming program-program Ramadhan televisi," katanya.

Menurutnya, HP memang banyak memberikan manfaatnya. Minimal untuk ibu rumah tangga bisa saling kirim pesan dam kiriman gambar atau video yang dibagi di WhatsApp. Jadi bisa semua itu bagi dia manfaat untuk menghilangkan penat setelah bekerja mengurus keluarga.

"Karena bulan puasa maka biasanya per hari tidak banyak waktu untuk menghabiskan waktu di HP. Karena harus urus anak, suami, masak, cuci dan lainnya dulu," katanya.

photo
Infografis Anggota Keluarga Alami Gejala Covid-19 - (republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement