Selasa 28 Apr 2020 07:20 WIB

Aktivis Mengaku Diintimidasi

Aktivis meminta pemerintah mengevaluasi kinerja kepolisian.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Teguh Firmansyah
Aktivis Asfinawati.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Aktivis Asfinawati.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah aktivis mengaku mengalami tindak intimidasi maupun upaya peretasan dalam beberapa bulan terakhir. Koalisi masyrakat sipil dari berbagai organisasi yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) menyebut hal ini sebagai kemunduran demokrasi.

Koalisi menyebut, setidaknya sejak Februari 2020 ada beberapa pola untuk memberangus suara kritis, baik yang dialamatkan kepada RUU omnibus law cipta kerja maupun lainnya, termasuk penanganan pandemi Covid-19. Koalisi menyebut empat pola, yakni intimidasi, peretasan, kriminalisasi, dan pengawasan.

Baca Juga

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang merupakan bagian dari koalisi, Asfinawati, membenarkan hal tersebut. Ia menyebut berbagai aktivis dari lintas organisasi mengalami intimidasi dengan pola-pola itu. Bahkan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di daerah juga mengalami intimidasi.

"Percobaan peretasan iya, di salah satu LBH. Ada juga yang dipantau seperti LBH Medan," kata Asfinawati pada Republika.co.id, Senin (27/4) malam.

Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) juga sebagai salah satu pihak yang mengalami intimidasi. KASBI yang diketuai Nining Elitos merupakan salah satu organisasi buruh yang menggelar demo menolak omnibus law cipta kerja pada awal 2020. Pada 17 Februari lalu, terjadi pembakaran ban di markas KASBI, Cipinang Kebembem, Jakarta Timur.

"Itu betul. Sejak kami terus melakukan penolakan omnibus law, kantor kami didemo dan terjadi pembakaran ban pas depan pintu gerbang," kata Nining Elitos saat dikonfirmasi Republika.co.id, Senin (27/4) malam. Teror, menurut dia, juga terjadi terhadap pengurus KASBI.

Koalisi menyebut, peretasan juga menjadi jenis yang paling banyak memakan korban. Peretasan atau percobaan peretasan gawai dilakukan melalui akun media sosial maupun aplikasi pesan. Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan, Merah Johansyah, mengaku mengalami upaya peretasan.

"Ada percobaan peretasan pada Facebook saya kemarin," kata Merah Johansyah saat dikonfirmasi Republika.co.id, Senin malam. Jatam diketahui merupakan salah satu organisasi yang kerap mengkritik kebijakan pemerintah di bidang lingkungan.

Di tingkat mahasiswa, Ketua BEM UI Fajar Adi Nugroho juga mengaku mengalami peretasan. Ia mengaku gawainya diretas. "Kebetulan yang saya alami berupa peretasan gawai," ujarnya.

Koalisi mencatat, masih banyak terjadinya upaya intimidasi terhadap aktivis, misalnya pada Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yang kerap melontarkan kritik keras di bidang lingkungan kepada pemerintah. Walhi Yogyakarta bahkan sempat didatangi anggota polisi dan TNI.

Syahdan Husein dari Gejayan Memanggil juga disebut mengalami intimidasi. Selain itu, koalisi menyebut percobaan peretasan akun Twitter dialami oleh Koordinator Jaringan Desa Kita R Sumakto @DesaKita2 dan akun Facebook seorang jurnalis Mawa Kresna.

Sementara itu, koalisi juga mencatat, kriminalisasi menimpa tiga pemuda pegiat Aksi Kamisan Malang di Tangerang. Rio Imanuel, Aflah Adhi, dan Muhammad Riski adalah pemuda yang aktif dalam gerakan-gerakan berbasis edukasi dan solidaritas. Terakhir, peneliti kebijakan publik Ravio Patra Asri juga sempat ditangkap setelah ponselnya diretas. Sementara itu, pengawasan aktivitas oleh kepolisian maupun orang tak dikenal dialami setidaknya oleh Solidaritas Pangan Yogyakarta sebanyak dua kali dan LBH Medan empat kali.

Koalisi menilai keseluruhan tindakan tersebut memiliki kesamaan, yaitu tidak pernah ada proses hukum terhadap pelakunya. Hal itu secara gamblang berbeda dengan proses hukum terhadap masyarakat yang dianggap menghina presiden atau pejabat lainnya.

Kondisi tersebut, menurut koalisi, menunjukkan kepolisian bukannya tidak mampu mengungkap siapa pelakunya, melainkan tidak mau. "Kami melihat hal itu sebagai sebuah pelanggaran terhadap negara hukum. Persamaan di depan hukum tinggal di atas kertas.

Karena itu, desakan kami harus diungkap," kata Asfinawati menegaskan.

Karena itulah, Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) meminta penghentian segala jenis teror dan intimidasi terhadap rakyat di tengah pandemi Covid-19. Mereka juga meminta pelaku penebar ketakutan termasuk pelaku peretasan diungkap. Koalisi meminta tanggung jawab negara untuk tetap menjaga demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).

Pemerintah juga diminta mengevaluasi kepolisian dan pihak-pihak yang seharusnya menjaga keamanan masyarakat. Di samping itu, FRI meminta DPR menjalankan fungsinya melakukan pengawasan kepada pemerintah dengan lebih saksama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement