Jumat 24 Apr 2020 02:55 WIB

Sejumlah Catatan Kritis TII untuk RUU Omnibus Law

TII mendesak agar semua catatan kritis dari beragam pihak harus dipertimbangkan.

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Pejuang Hak-hak Buruh berunjuk rasa di Alun-alun Serang, Banten, beberapa waktu lalu. Mereka menolak pengesahan RUU Omnibus Law dan mendesak Pemerintah untuk membatalkanya.
Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Pejuang Hak-hak Buruh berunjuk rasa di Alun-alun Serang, Banten, beberapa waktu lalu. Mereka menolak pengesahan RUU Omnibus Law dan mendesak Pemerintah untuk membatalkanya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) memandang Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja memiliki potensi positif untuk ekonomi. Namun, TII juga menggarisbawahi banyaknya catatan kritis yang harus dibahas sebelum meloloskan RUU ini.

Direktur Eksekutif TII Adinda Tenriangke Muchtar mengatakan, RUU Cipta Kerja sendiri sejak awal memang tidak lepas dari kebutuhan untuk memenuhi target Pemerintah. Ini dalam rangka meningkatkan investasi dan mendukung kemudahan berusaha di Indonesia.

Menurut dia, pasar tenaga kerja yang dipersepsikan tidak terlalu fleksibel juga ikut menghambat investasi di Indonesia dan mempengaruhi daya saing Indonesia.

"Dalam studi kualitatif awal TII mengenai Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini, TII mencatat bahwa, data pertumbuhan ekonomi menunjukkan bawa selama lima tahun terakhir ini Indonesia memasuki kecepatan tumbuh 5 persen per tahun. Besaran ini memang sudah cukup untuk menempatkan Indonesia di posisi kedua kelompok negara-negara G20," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (23/4).

Namun, ujar dia, tetap ada aspirasi agar Indonesia tumbuh lebih cepat untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Adinda menjelaskan, perhitungan kasar menunjukkan bahwa untuk tumbuh dalam kisaran 5,3 sampai 5,5 persen saja diperlukan pertumbuhan investasi antara 8 sampai 9 persen.

"Sementara, untuk pertumbuhan yang lebih tinggi dari itu diperlukan pertumbuhan investasi di atas 10 persen (double digit)," ujarnya.

Namun, menurut Adinda, faktanya saat ini pertumbuhan investasi dalam kurun waktu 2015-2019 tidak pernah lebih dari 7,94 persen per tahun.

Dia mengungkapkan, salah satu penyebab tersendatnya pertumbuhan investasi tidak bisa bergerak naik adalah indikator daya saing Indonesia. Global Competitiveness Report/GCR 2019) besutan World Economic Forum (WEF) mencatat bahwa peringkat daya saing Indonesia menurun dari posisi 45 ke-50. "Prosedur perizinan di Indonesia dinilai berbelit-belit.

Hal ini salah satunya tercermin dari waktu untuk memulai bisnis yang menduduki peringkat ke-103. Biaya untuk memulai usaha yang mendapatkan skor di peringkat ke-67," ujarnya. Menurut Adinda, secara teoretis, daya saing dan investasi menunjukkan hubungan yang positif.

Artinya, ketika daya saing suatu negara mengalami kenaikan, maka investasi di negara tersebut juga akan meningkat. Oleh karena itu, menurut Adinda, TII menegaskan pentingya mengritisi RUU ini.

Selain itu, pembangunan yang berkelanjutan dan mendukung kebebasan ekonomi tidak akan dapat berjalan baik dan berdampak positif.

"Harus diakui bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja masih memuat banyak ketentuan yang kontroversial dan justru ikut menghambat tujuannya karena proses pembuatannya yang sejak awal bermasalah," kata dia. TII mendesak agar semua catatan kritis dari beragam pihak harus dipertimbangkan dan dijadikan masukan dalam proses pembahasan RUU Cipta Kerja kedepan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement