Kamis 23 Apr 2020 19:51 WIB

Meski Covid-19, BPOM Tetap Intensifkan Pengawasan Makanan

Pada Ramadhan, banyak produk pangan olahan kemasan yang tidak memenuhi ketentuan.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan tetap mengintensifkan pengawasan pangan dan produk yang beredar di masyarakat di waktu Ramadhan dan Idul Fitri. Meski saat ini, Indonesia dan berbagai negara diterpa wabah Covid-19.

"Dengan pengawalan BPOM terhadap keamanan pangan selama bulan Ramadhan, diharapkan dapat menjaga ketenangan dan kekhusyukan masyarakat Muslim dalam beribadah," kata Kepala BPOM Penny K Lukito kepada wartawan di Jakarta, Kamis (23/4).

Baca Juga

Dia mengatakan dalam proses itu BPOM tetap menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Dengan demikian, kegiatan tetap dapat berlangsung aman dari penularan virus corona jenis baru atau SARS-CoV-2.

Pada kondisi darurat, kata dia, BPOM terus bekerja melindungi masyarakat dengan melakukan pengawalan keamanan produk pangan, khususnya selama Ramadhan dan menjelang Hari Raya Idul Fitri. BPOM bergerak dalam pengawasan di berbagai daerah di Indonesia bersama 33 balai besar/balai POM dan 40 kantor badan POM di kabupaten/kota.

Dia mengatakan target intensifikasi pengawasan difokuskan pada pangan olahan tanpa izin edar (TIE)/ilegal, kedaluwarsa dan rusak di sarana ritel dan distribusi pangan serta pangan jajanan berbuka puasa (takjil) yang kemungkinan mengandung bahan berbahaya.

Beberapa pangan dengan bahan berbahaya, katanya, antara lain formalin, boraks dan pewarna yang dilarang (rhodamin B dan methanyl yellow). Pelaksanaan intensifikasi pengawasan pangan dilakukan secara mandiri maupun terpadu bersama lintas sektor terkait.

Berdasarkan data hasil pelaksanaan intensifikasi pengawasan pangan pada bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri tahun 2019, kata dia, menunjukkan masih banyak ditemukan produk pangan olahan kemasan yang tidak memenuhi ketentuan (TMK).

Dari 5.862 sarana ritel dan distribusi pangan yang diperiksa, terdapat 2.667 (45,50 persen) sarana distribusi TMK karena menjual produk pangan rusak, pangan kedaluwarsa dan pangan TIE. "Jumlah total temuan produk pangan TMK sebanyak 11.944 item (519.088 kemasan) dengan total nilai ekonomi mencapai Rp10.381.760.000," kata dia.

Jika dibandingkan dengan data intensifikasi pangan tahun 2018, kata Penny, terjadi peningkatan jumlah sarana yang diperiksa, jumlah temuan produk TMK dan besaran nilai ekonomi temuan. Namun terjadi penurunan temuan jumlah produk kedaluwarsa dan TIE, sementara terjadi kenaikan jumlah produk rusak di peredaran.

Untuk pangan jajanan takjil, dia mengatakan, hasil pengawasan pada 2019 menunjukkan bahwa dari 16.314 sampel yang diperiksa, sebanyak 517 sampel (3,17 persen) tidak memenuhi syarat (TMS). Temuan bahan berbahaya yang paling banyak disalahgunakan adalah rhodamin B (38,3 persen), diikuti boraks (33,4 persen), formalin (27,7 persen) dan methanyl yellow (0,6 persen).

"Jika dibandingkan dengan data intensifikasi pangan tahun 2018, terjadi penurunan persentase produk TMS. Pada tahun 2018, pangan yang TMS terhadap bahan berbahaya sebesar 5,34 persen," katanya.

Kepala BPOM mengatakan untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap potensi bahaya produk pangan TMK selama Ramadhan dan menjelang Hari Raya Idul Fitri tahun 2020, BPOM juga akan melakukan berbagai kegiatan, antara lain sosialisasi serta Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) Keamanan Pangan.

Penny tak henti meminta pelaku usaha pangan untuk patuh terhadap peraturan perundang-undangan. Masyarakat sebagai konsumen juga harus memiliki kesadaran untuk memilih produk pangan yang aman, ingat selalu Cek KLIK (singkatan dari cek kemasan, label, izin edar dan kedaluwarsa) ketika akan membeli atau mengonsumsi produk pangan olahan dalam kemasan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement