REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) mengirimkan surat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta lembaga itu mengawal dan mencegah potensi korupsi atas proyek kartu prakerja tahun 2020 dengan anggaran Rp5,6 triliun.
"Hari ini sekitar pukul 13.00 WIB, MAKI telah berkirim surat melalui email kepada pengaduan masyarakat KPK yang intinya meminta KPK mengawal dan mencegah korupsi atas proyek Kartu Prakerja tahun 2020 anggaran Rp5,6 triliun," ucap Koordinator MAKI Boyamin Saiman melalui keterangannya di Jakarta, Kamis (23/4).
Dalam surat yang ditujukan kepada pimpinan KPK itu, terdapat empat poin dugaan potensi tindak pidana korupsi pada proyek Kartu Prakerja jika tidak dicegah sejak dini. Pertama, kata Boyamin, diduga akan terjadi pemahalan harga (mark up) sebesar Rp2,58 triliun.
"Hal ini berdasar pendapat Peneliti INDEF Nailul Huda menyebut delapan platform digital yang bekerja sama dengan pemerintah dalam menyediakan pelatihan kartu prakerja berpotensi meraup untung sebesar Rp3,7 triliun. Ini berarti masing-masing platform bisa meraih keuntungan dari proyek Rp457 miliar perplatform jika keuntungan tersebut dibagi rata,"t uturnya.
Ia mengatakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga telah memberikan batasan keuntungan pada kisaran sekitar 20 persen atau Rp5,6 triliun dibagi 20 persen adalah Rp1,12 triliun.
"Jika keuntungan Rp3,7 triliun dan dikurangi Rp1,12 triliun maka akan terjadi pemahalan harga Rp2,58 triliun sehingga dengan keuntungan di atas 20 persen pada proyek Kartu Prakerja maka akan dapat diduga telah terjadi pemahalan harga sebesar Rp 2,28 triliun sehingga merugikan negara," ucap Boyamin.
Kedua, lanjut dia, terdapat dugaan salah perencanaan, tidak efisien, dan tidak tepat sasaran sehingga sulit pertaanggungjawaban hasilnya secara riil dan terukur.
"Menurut Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad menilai penggunaan anggaran Rp5,6 triliun tersebut tidak efisien. Pasalnya, besaran anggaran tidak sesuai dengan kualitas pelatihan yang diberikan secara daring," ujar dia.
Ketiga, ia mengatakan bahwa diduga penunjukan delapan platform digital tersebut mengarah kepada praktik usaha tidak sehat.
"Bahwa proses penunjukan delapan perusahaan penyedia jasa dilakukan secara tertutup dan memungkinkan terdapat perusahaan yang tidak memenuhi kualifikasi dikarenakan tidak ada pengumuman persyaratan administrasi dan teknis untuk mengerjakan proyek Kartu Prakerja," tuturnya.
Keempat, sumber pendanaan tidak ada dasar hukumnya. "Bahwa berlakunya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang COVID-19 berlaku pada 31 Maret 2020 sedangkan proyek ini dimulai pada 20 Maret 2020 sehingga patut dipertanyakan sumber dana dan dasar hukumnya," ujar Boyamin.
Saat ini, ada delapan mitra program Kartu Prakerja itu yakni Tokopedia, Ruang Guru, Mau Belajar Apa, Bukalapak, Pintaria, Sekolahmu, Pijar Mahir, dan dari pemerintah yakni Sistem Informasi Ketenagakerjaan (Sisnaker) Kementerian Ketenagakerjaan.