Kamis 23 Apr 2020 12:00 WIB

Demo Buruh 30 April Tergantung Keputusan Jokowi

Gabungan serikat buruh berencana menggelar demo pada 30 April menolak RUU Ciptaker.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Andri Saubani
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Pejuang Hak-hak Buruh berunjuk rasa di Alun-alun Serang, Banten, Sabtu (21/3). (ilustrasi)
Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Pejuang Hak-hak Buruh berunjuk rasa di Alun-alun Serang, Banten, Sabtu (21/3). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aksi demo puluhan ribu buruh menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang sedianya akan digelar pada 30 April 2020 mendatang menunggu apa yang bakal diumumkan oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) setelah pertemuan perwakilan buruh pada Rabu (23/4). Jokowi direncanakan mengumumkan keputusannya pada hari ini.

Pertemuan bersama Jokowi itu dihadiri tiga pimpinan konfederasi buruh, yaitu Andi Gani Nena Wea dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Said Iqbal dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban.

Baca Juga

Dalam pertemuan itu, Jokowi disebut telah menerima masukan dan aspirasi dari para buruh terkait Omnibus Law. Namun, baik Jokowi maupun perwakilan buruh masih belum memastikan secara rinci apakah Klaster ketenagakerjaan bakal ditarik.

"Biar Presiden yang akan menyampaikan," kata Andi Gani saat dikonfirmasi.

Andi juga enggan menyampaikan secara rinci pengumuman apa yang bakal diumumkan presiden. "Presiden akan menyampaikan langsung keputusan beliau (soal Omnibus Law CIptaker)," kata dia singkat.

Wakil Presiden KSPI Obon Tabroni yang juga anggota Komisi IX DPR RI menegaskan, permintaan buruh tetap, yakni agat klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Menurut dia, ada tiga alasan klaster Ketenagakerjaan harus dicabut.

Pertama, pascapandemi Covid-19 tatatanan dan struktur ekonomi global pasti berubah. Tabroni khawatir, ketika RUU Cipta Kerja disahkan, ternyata tidak bisa menjawab tantangan ke depan.

"Omnibus Law kan dipersiapkan sebelum Covid-19. Artinya tidak memperhitungkan perubahan tatanan global pasca pandemi corona ini usai," kata Obon Tabroni saat dihubungi Kamis (23/4).

Kedua, pembahasan RUU Cipta Kerja ini akan berdampak pada lebih dari 50 juta pekerja formal. Sehingga, penyusunan RUU Cipta Kerja tidak boleh sembrono dan terburu-buru, apalagi tidak melibatkan partisipasi yang luas dari masyarakat.

"Saya rasa perlu kajian yang lebih mendalam, termasuk dengan melibatkan partisipasi dari elemen terkait yang lebih luas. Sejak dari penyusunan draf," ujar anggota Fraksi Partai Gerindra yang duduk di Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja DPR RI ini.

Ketiga, lanjut Obon, pemerintah sebagai pihak yang menginisiasi RUU ini perlu meninjau ulang keberadaan Omnibus Law secara keseluruhan. Tidak perlu terburu-buru memaksakan untuk membahas RUU Cipta Kerja di masa pandemi, sehingga semua pihak bisa lebih fokus pada penanganan Covid-19.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement