Rabu 22 Apr 2020 23:21 WIB

Lembaga HAM Soroti Respons Pemerintah di ASEAN Atasi Corona

Ada negara yang kurang transparan dan membatasi akses publik pada informasi.

Tes corona (ilustrasi). Pemerintah negara-negara ASEAN dianggap kurang menjalankan pendekatan kemanusiaan dalam mengambil langkah penanggulangan wabah virus corona, di antaranya kurang transparan dan terdapat pembatasan pada informasi yang bisa diakses oleh publik.
Foto: www.freepik.com
Tes corona (ilustrasi). Pemerintah negara-negara ASEAN dianggap kurang menjalankan pendekatan kemanusiaan dalam mengambil langkah penanggulangan wabah virus corona, di antaranya kurang transparan dan terdapat pembatasan pada informasi yang bisa diakses oleh publik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setidaknya dua lembaga HAM, yakni Forum Asia untuk HAM dan Pembangunan (FORUM-ASIA) dan Komisi Antarpemerintah ASEAN urusan HAM (AICHR) menyoroti sikap pemerintah negara-negara kawasan Asia Tenggara dalam menangani pandemi Covid-19. Pemerintah negara-negara ASEAN dianggap kurang menjalankan pendekatan kemanusiaan dalam mengambil langkah penanggulangan wabah virus corona.

"Kami melihat bagaimana pemerintah merespons pandemi ini justru cenderung lebih otoriter dan represif," kata Manajer Program Asia Timur dan ASEAN di FORUM-ASIA Rachel Arinii, dalam webinar Talking ASEAN di kanal Youtube The Habibie Center, Rabu (22/4).

Baca Juga

Rachel menjelaskan berdasarkan kajian yang dilakukan FORUM-ASIA mulai bulan Maret lalu, setidaknya ada lima poin paparan lebih rinci dari istilah "otoriter dan represif" yang disebutkan. Pertama, kurang transparan dan terdapat pembatasan pada informasi yang bisa diakses oleh publik.

"Misalnya Myanmar dan Laos, bahkan Indonesia, sempat membantah terjadi infeksi di wilayah masing-masing, dan Myanmar hingga kini memblokir layanan internet di Rakhine dan Chin," kata dia.

Kedua, penyalahgunaan wewenang dengan menggunakan militer dan kepolisian. Ini termasuk dalam pemberlakuan hukuman seperti penangkapan, penahanan, dan denda bagi masyarakat yang melanggar imbauan jam malam atau menyebarkan berita keliru.

"Ada pula penggunaan kekerasan dan perlakukan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan (CIDT) yang terjadi di Filipina, misalnya menempatkan orang di peti mati atau menjemur mereka di bawah sinar matahari. Ada juga kasus pembunuhan, satu di Filipina dan satu lagi di Thailand," ujar Rachel.

Ketiga, pembatasan terhadap kebebasan berekspresi di internet di bawah regulasi tentang berita bohong dan informasi keliru. Keempat, pelanggaran privasi, khususnya melalui aplikasi telepon pintar dan pembukaan identitas rinci seseorang ke publik.

Kelima, respons yang memperparah ketidaksetaraan dan kerentanan dari kelompok termarjinalkan, contohnya sangat kurang respons cepat terkait keberlangsungan hidup para pekerja lepas, buruh pabrik, dan pekerja di sektor informal lainnya.

Sementara itu, hasil kajian AICHR terhadap pengawasan pada Februari--ketika awal wabah mulai masuk ke kawasan ASEAN--menunjukkan bahwa kebiasaan sikap pemerintah yang muncul dalam menanggapi pandemi ini adalah kurang transparan, menyangkal, dan antisains.

"Beberapa pendekatan yang muncul pada bulan itu cenderung pada pengamanan daripada kesehatan publik, berpusat pada pemerintah daripada masyarakat, serta bias kelas sosial dalam hal perawatan," kata Perwakilan Indonesia untuk AICHR Yuyun Wahyuningrum, dalam webinar yang sama.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement