REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah mengeluarkan dan membebaskan 36.554 narapidana dan anak di seluruh Indonesia melalui program asimilasi dan integrasi berkenaan dengan virus Covid-19. Keputusan tersebut menjadi polemik di masyarakat setelah terjadinya berbagai tindak kriminal dan ancaman di tengah masyarakat yang dilakukan narapidana hasil asimilasi.
Perwakilan Ombudsman RI, Ninik Rahayu mengatakan, pentingnya sosialisasi, memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi kepada publik dari pemerintah. “Masyarakat juga perlu diberi bekal agar tidak terjadi penolakan terhadap warga binaan yang bebas,” kata Ninik di Jakarta, Selasa (14/4).
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Nugroho menegaskan pilihan memberikan asimilasi dan integrasi karena kondisi di dalam Lapas ataupun Rutan di Indonesia yang sangat rawan penyebaran dan penularan penyakit. Pembebasan narapidana menjadi pilihan terakhir yang harus dipahami oleh berbagai pihak untuk meminimalisir terjadinya penyebaran virus dan penyakit di dalam lapas/rutan.
“Kondisi yang dihadapi warga binaan seperti kelebihan penghuni, sanitasi yang kurang memadai, memunculkan rekomendasi terbaik bagi mereka untuk dirumahkan sehingga mengurangi risiko penularan yang besar,” kata Nugroho.
Menurut Nugroho kecemasan masyarakat karena masih banyaknya hoaks atau kabar bohong yang beredar tentang banyaknya mantan narapidana, yang membuat ulah setelah dibebaskan di tengah pandemi Covid-19 ini. Nyatanya, kata Nugroho, sampai kini baru 12 narapidana yang berulah dari sekitar 36.554 yang sudah dibebaskan.
Nugroho menegaskan bahwa sesuai dengan instruksi Menkumham, narapidana yang kembali melakukan tindak kejahatan setelah bebas akan diberi sanksi berat.