REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengingatkan kepolisian RI menggunakan Surat Edaran Kapolri Nomor 6 Tahun 2015 untuk menerjemahkan Surat Telegram Kapolri tertanggal 4 April 2020 terkait pelanggaran di ruang siber, diantaranya penghinaan terhadap pemerintah selama wabah covid-19.
“Saya mengingatkan jajaran Polri agar dalam menerjemahkan isi surat telegram Kapolri dimaksud, maka langkah-langkah yang diatur dalam SE Kapolri Nomor 6 Tahun 2015 dipergunakan,” ujarnya saat dihubungi Republika, Senin (6/4).
Dalam Surat Edaran itu, Polri diminta untuk tidak langsung melakukan tindakan represif dalam kasus-kasus ujaran kebencian, fitnah, dan penistaan di ruang siber, tetapi mengedepankan pendekatan persuasif. Di dalamnya, lanjut Arsul, ada nuansa penegakan prinsip-prinsip keadilan restoratif yang mana penyelesaian kasus bukan dengan proses hukum konvensional yang disertai dengan penangkapan dan penahanan.
“Justru akan lebih efektif jika pendekatan preventif dilakukan,” katanya, mengacu pada SE Kapolri Nomor 6 Tahun 2015.
Kendati demikian, Arsul tidak sepakat jika dikatakan, penindakan hukum terhadap hal-hal yang bisa dianggap ujaran kebencian berarti mengancam kebebasan publik untuk bersuara. “Hanya dalam hal terjadi proses hukum, maka kita perlu kritisi dan kawal supaya polisi tidak sewenang-wenang,” terangnya.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Pol Idham Azis menerbitkan Surat Telegram Kapolri tertanggal 4 April 2020 yang berisi tentang pedoman pelaksanaan tugas pada masa wabah virus corona yang menjabarkan perkembangan situasi di ruang siber dan penegakan hukum tindak pidana siber selama masa darurat akibat Covid-19. Salah satunya adalah tentang penghinaan kepada presiden dan pejabat pemerintah.