Jumat 03 Apr 2020 15:32 WIB
Corona

Bercermin Pada Orang Jepang Mengatasi Pandemi Corona

Tradisi memakai masker dan menjaga kebersihan sudah menjadi budaya orang Jepang.

Bagi orang Jepang memakai masker sudah merupakan tradisi.
Foto:

                         *****

Bagi kami, selaku orang Indonesia yang kini tengah tinggal di Jepang, ada beberapa catatan menarik yang saya amati di Jepang berkenaan dengan cara mereka menanggulangi sebaran Covid-19 yang melanda:

Pertama, orang Jepang punya tradisi memakai masker. Jadi sebaran Covid19 tertasi walaupun jumlah orang tua (manula) di Jepang jumlahnya cukup tinggi. Sampai hari ini jumlah kematian yang mendera akinat Virus Corona tidaklah sebanyak di Italia yan juga banyak penduduk manulanya.

Adanya tradisi memakai masker ini, kalau anda pernah melancong ke Jepang pasti melihat banyaknya orang memakai masker. Dan ini merupakan fenomena jamak di jalan-jalan Jepang. Sekilas memang terkesan sederhana dan mudah memakai masker itu, tapi jelas merpotkan dan membat risih orang yang tak terbiasa.

Sebaliknya, bagi masyarkat yang terbiasa memakai masker, mereka kalau tidak memakanya maka ada perasaan kurang nyaman dalam dirinya. Ini karena ada perasaan “kurang plong” karena aliran nafas dan hirupan oksigen terkesan agak terhambat.Tapilagi-lagi bila sudah terbiasa memakai masker menutup mulut dan hidung ternyata tidak masalah. Dan karena kebiasaan inilah maka Jepang sangat terbantu di dalam usaha menekan penyebarna virus Corona.

Ahasil, jika  biasanya orang Jepang memakai masker ketika kurang enak badan atau  sedikit flu/bersin, maka masker ini mereka megari orang lain agar tidak terrulari. Jadi karena sudah menjadi tradisi, karena ada pandemi Corona frekuensi pemakai masker di Jepang kini meningkat drastis, terutama ketika warga berada di  tempat-tempat umum. Maka inlah bedanya tradisi masyarakat Jepang dan warga negara lainnya, termasuk Indonesia.

Kedua, di Jepanng masyarakatnya juga punya tradisi atau budaya kebersihan yang sangat kuat. Ini jelas semakin dalam menangani virus Corona. Misalnya warga Jepang dari dahulu sudah secara masif sudah melakukan kampanye mencuci tangan dengan frekuensi lebih sering. Maka jangan heran bila di televisi selama ini selalu ada hal yang jamak mengenai cara mencuci tangan secara “baik dan benar”. Ini kesannya sepele, tapi ternyata cukup efektif.

Bahkan di sekolah sekolah anjuran untuk sering kali mencuci tangan disisipkan di buku materi ajar pelajaran. Cairan hand-sanitizer  gampang ditemukan di tempat umum, terutama di pertokoan dan kantor pemerintah. Di sana pasti selalu tersedia sarana pencuci tangan beralkohol secara gratis. Hebatnya lagi, meski pun 'barang gratisan' tak ada orang Jepang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk mengambil cairan hand sanitizer untuk dibawa pulang.

  • Keterangan Foto: Rak dagangan berupa tissue yang sempat kosong diborong pada masa awal ramainya berita tentang pandemi Corona.

Kebiasaan itu bermuara juga dari kebiasaan mencuci tangan setelah dari toilet. Adanya budaya setiap individu orang Jepang yang selalu menjaga kebersihan ini, maka secara otomotis kemudian terimplementasi dan menjadi kebiasaan yang massif.

Untuk itu, kebiasaan hidup bersih, memakai masker, dan selalu mencuci tangan bukanlah sebuah hal pembiasaan baru di Jepang. Karena tradisi bersih sudah membudaya. Dan khusus akibat ramai berita kasus Corona di Wuhan China, memang sempat membuat rak-rak tisu dan masker di toko-toko Jepang ludes dibeli orang. Hebatnya, tak ada yang berebut dan himpit-himpitan masuk ke tempat perbelanjaan. Semua orang selalu menjaga jarak dan mengantre untuk membelinya.

Ketiga, kuatnya ajaran Konfuisme yang melekat kuat di benar orang Jepang. Ajaran ini salah satu pilarnya adalah “melarang untuk merugikan orang lain” atau “mengganggu orang lain”. Jadi kalau badan sakit, ya diusahakan jangan sampai sakitnya menular ke orang lain.

Ajaran konfuisme ini bahkan terjejak pada kebiasan yang terkesan sepea. Misalnya, kalau senang mempunyai peliharaan anjing, maka jangan sampai anjingnya mengotori tempat orang orang/tempat umum. Ini misalnya kalau anjing diajak jalan jalan ke taman mengeluarkan kotoran berarti yang punya harus bertanggung jawab memungut kotoran hewan peliharaannya tersebut.

Adanya hal tersebut, maka menjadi hal yang bila  normal melihat orang Jepang membawa jalan-jalan hewan peliharaannya selalu  menggamit serok dan plastik untuk memungut dan menyimpan kotoran hewan peliharaannya. Budaya tanggung jawab ini melekat sedemikian kuat sehingga orang “berlomba lomba” untuk tidak “merugikan” orang lain dengan mengedepankan gaya hidup sehat.

Berkat tinggi rasa memiliki atas ajaran Konfuisme, maka orang Jepang selalu berperilaku sehat. Mereka sadar betul,  disamping untuk menyehatkan diri sendiri, gaya hidup sehat juga diyakini sebagai bagian untuk “tidak menulari” orang lain yang itu berarti mengganggu dan merugikan orang lain.

Sebenarnya di Indonesia punya budayanya yang mirip, yakni adanya tradisi atau kebiasaan bertenggang rasa. Bahkan sampai dilombakan di lomba butir-butir P4 jaman saya sekolah dulu. Tetapi sekarang, saya melihat hal itu terasa agak luntur terutama di daerah perkotaan. Saya merasa orang Indonesia tak mengamalkan Pancasila dengan benar sebab hidupnya cenderung individual. Guyup dan rukun masih sebatas slogan.

Jadi observasi pribadi saya memang sekilas melihat pemerintah dan masyarakat Jepang selama saya tinggal di negara ini sampai sekarang saya lihat cukup tanggap dan bereaksi cepat di dalam menangani pandemi Corona yang berasal dari Wuhan di China itu. Pemerintah Jepang cukup aktif dan penuh tanggung jawab dengan mengambil langkah langkah terukur untuk mengantisipasi penyebaran secara serius . Tak ada pejabat negara yang membuatnya jadi lelucon yang tidak perlu.

Pada sisi lain, saya paham sekali bila kemampuan literasi dan pemahaman yang tinggi telah dipunyai warga Jepang. Kebiasan membaca mereka tinggi. selian itu, masyarakat Jepang selaku berperilaku penuh tanggung jawab. Mereka akan “mematuhi” semua aturan yang digariskan, dan saya lihat “endurance” (daya tahan dan kekeuh patuh dengan aturan lumayan kuat). Contohnya mereka sangat patuh pada larangan untuk tidak keluar di tempat keramaian dan hanya keluar kalau kondisi yang memaksa.,

Jadi berbeda dengan orang Indonesia, ketika Bapak Presiden Jokowi menyarankan WFH (Work from Home) terus respons masyarakat malah dijawab denga mengularnya antrian untuk bekerja atau pergi tempat wisata di wilayah sejuk dekat Jakarta.  Membaca berita dari tanah air ini tentunya membuat mengerenyitkan alis mata. Dan ini munculnya bisa dipicu dengan beberapa alasan, yakni bisa jadi tidak paham bahaya convid-19, meremehkan aturan main, atau endurance daya patuhnya kepada aturan yang memang yang lemah? Tentunya perlu penelitian lebih dalam untuk mendapatkan jawaban penyebab utamanya.

Akhirnya, dari Jepang, mari kita berdoa agar virus corona ini tidak meluas dan jumlah korban yang terjangkiti khususnya warga negara Indonesia bisa diminimalisir. Semoga…….

======

*Donny Oktavian Syah, Pemerhati Masalah Ekonomi dan Sosial, bekerja dan studi di Jepang

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement