Kamis 02 Apr 2020 20:18 WIB

Media Diharap Kedepankan 'Jurnalisme Harapan' Saat Covid-19

Jurnalisme harapan ditujukan agar masyarakat bisa tenang sekaligus siaga.

Pers (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Pers (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JEMBER -- Media massa diharapkan gencar menyebarkan 'jurnalisme harapan' di tengah pandemi Covid-19 sehingga tidak terjebak dalam 'jurnalisme virus'. Pakar ilmu komunikasi yang juga dosen FISIP Universitas Jember, Muhammad Iqbal mengatakan, media televisi semestinya lebih banyak mengemas jurnalisme berita yang memompa asa.

"Agar masyarakat bisa lebih tenang, siaga, sabar, dan patuh berada di dalam rumah untuk memutus rantai penyebaran virus corona," kata Iqbal di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Kamis (2/4).

'Jurnalisme virus' yang dimaksud adalah lebih banyak memberitakan perkembangan berapa jumlah yang positif corona, pasien dalam pengawasan (PDP) dan orang dalam pemantauan (ODP), kelangkaan alat pelindung diri (APD) dan masker, serta emosi warga menolak pemakaman jenazah positif corona.

Contoh lainnya, menurut dia, yakni berita penertiban aparat atas kerumunan dan kehebohan dramatis warga me-lockdown jalanan dengan zooming shot tulisan spanduk yang mencekam. "Semua itu tanpa disadari sangat mungkin berakibat masifnya trauma dan menambah beban derita masyarakat," ujar Iqbal.

Menurut dia, orang-orang sudah lebih banyak beraktivitas di rumah saat ini sesuai anjuran pemerintah. Dengan begitu, orang-orang kini punya banyak waktu untuk menonton televisi dan mendengarkan radio. Untuk itu, peranan media televisi dan radio menjadi ujung tombak dalam jurnalisme harapan di tengah wabah Covid-19.

"Fungsi kontrol sosial media, terutama televisi, di masa wabah bencana seharusnya lebih mengemuka karena regulasi penyiaran di Indonesia sudah mengatur hal tersebut," kata dia.

Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) Tahun 2012 pasal 49 mengatur bahwa program siaran jurnalistik tentang peliputan bencana atau musibah wajib mempertimbangkan proses pemulihan korban, keluarga, dan/atau masyarakat yang terkena bencana atau musibah. Dalam Pasal 50 ditegaskan, program siaran jurnalistik tentang peliputan bencana atau musibah dilarang menambah penderitaan atau trauma korban, keluarga, dan masyarakat. "Namun, kadang hal tersebut terabaikan," ujarnya.

Iqbal berharap media mengedepankan jurnalisme damai atau dalam pandemi disebut 'jurnalisme harapan'. Seandainya perspektif jurnalisme media kompak menumbuhkan harapan, dia optimistis seluruh elemen masyarakat juga kompak bangkit. "Dampaknya harapan tumbuh pesat sehingga melawan corona dari rumah bisa juga sangat dahsyat," ujarnya.

Dia juga mengimbau masyarakat tetap tinggal di rumah sambil menggalang berbagai solidaritas dukungan dan untuk penanganan Covid-19. Biarlah dokter dan tenaga medis fokus bekerja menyembuhkan pasien.

"Kesadaran masyarakat seperti itu bisa diedukasi secara masif, kreatif, dan produktif oleh jurnalisme harapan yang kompak disiarkan oleh seluruh media, khususnya televisi dan radio," ujar anggota Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) itu lagi.

                               

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement