REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rahman mengkritik wacana percepatan pembebasan narapidana koruptor. Usulan tersebut disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly kepada Komisi III DPR RI sebagai upaya pencegahan penularan Covid-19.
"Saya pada prinsipnya tidak sepakat. Kenapa? Jumlah napi tipikor itu sangat sedikit dibandingkan keseluruhan jumlah warga binaan di Lapas seluruh Indonesia," ujar Zaenur saat dikonfirmasi, Kamis (2/4).
Sehingga bila para narapidana korupsi dikeluarkan tidak memberi dampak yang signifikan. Sedangkan korupsi bersama kejahatan terorisme dan narkotika, khususnya bandar, itu menjadi kejahatan serius. "Tidak tepat jika mereka dikeluarkan dalam situasi Covid-19 ini," ucapnya.
Ia pun menilai, Lapas khusus para koruptor yang berada di Sukamiskin, Jawa Barat tidak mengalami over kapasitas. Sehingga, yang perlu dilakukan adalah protokol kesehatan untuk mencehah terjadinya penularan Covid-19 ke lapas Sukamiskin.
Sebelumnya, Kementerian Hukum dan HAM menargetkan akan mengeluarkan dan membebaskan sekitar 30 ribu hingga 35 ribu narapidana dan anak melalui program asimilasi dan integrasi dalam sepekan ini. Yasonna menyebut narapidana dan anak yang bisa mendapatkan asimilasi harus memenuhi syarat telah menjalani dua pertiga masa pidana pada 31 Desember 2020 bagi narapidana dan telah menjalani setengah masa pidana pada 31 Desember 2020 bagi napi anak.
Dalam rapat dengan DPR kemarin, Yasonna juga mengusulkan perubahan PP Nomor 99 Tahun 2012. Setidaknya terdapat empat kriteria narapidana yang bisa dibebaskan melalui program asimilasi dan integrasi melalui mekanisme revisi PP tersebut. Satu di antaranya adalah narapidana kasus tindak pidana korupsi yang berusia di atas 60 tahun dan sudah menjalani dua per tiga masa tahanan.