REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta tetap menggelar persidangan pada Rabu (1/4). Salah satu sidang yang digelar yakni pembacaan tuntutan terhadap Mantan anggota Komisi XI DPR Fraksi PAN Sukiman.
Pembacaan tuntutan terkait perkara dugaan suap terkait pengurusan dana alokasi khusus (DAK) Pegunungan Arfak dibacakan oleh JPU KPK melalui jarak jauh, Rabu (1/4). Hanya Majelis Hakim yang hadir di PN Tipikor Jakarta, sementara JPU KPK dan terdakwa menghadiri persidangan secara daring dari Gedung KPK Jakarta dengan video konferensi.
Dalam tuntutannya, JPU KPK meminta agar Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara serta denda Rp 500 juta subsidiar 6 bulan kurungan. Selain itu, JPU KPK juga meminta agar Majelis Hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa denda senilai Rp 2,65 miliar dan 22 ribu dollar AS.
Tak hanya itu, JPU juga menjatuhkan pidana tambahan yakni hak dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun setelah yang bersangkutan menjalani pidana pokok. JPU KPK meyakini Sukiman terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menerima suap Rp2,65 miliar dan 22 ribu dollar AS agar meloloskan alokasi anggaran dari APBN Perubahan tahun anggaran (TA) 2017 dan APBN TA 2018 untuk Kabupaten Pegunungan Arfak.
Perbuatan itu dilakukan bersama-sama dengan mantan Kasie Perencanaan DAK Fisik Kemenkeu, Rifa Surya dan Tenaga Ahli DPR dari Fraksi PAN, Suherlan. Adapun, uang suap berasal dari mantan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat, Natan Pasomba, Bupati Pegunungan Arfak Yosias Saroy, serta dua rekanan Dinas PU Pegunungan Arfak bernama Nicolas Tampang Allo dan Sovian Lati Lipu.
"Menyatakan terdakwa Sukiman terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan pertama," kata jaksa Wawan Yunarwanto.
Masih dalam tuntutannya, JPU KPK mempertimbangkan beberapa hal. Untuk hal yang memberatkan, perbuatan Sukiman dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan Sukiman tidak mengakui perbuatannya. Sementara hal yang meringankan, terdakwa bersikap sopan di persidangan, terdakwa memiliki tanggungan keluarga.
Diketahui, Mahkamah Agung (MA) mengizinkan seluruh pengadilan menggelar sidang perkara pidana melalui jarak jauh atau telekonferensi. Hal ini mengingat masih terjadinya pandemi Covid-19. Izin itu dituangkan dalam surat Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Dirjen Badilum) MA, Prim Haryadi kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia.
Dalam surat yang ditandatangani Prim Haryadi tertanggal 27 Maret 2020 itu disebutkan, pelaksanaan sidang pidana secara telekonferensi dikoordinasikan oleh Ketua Pengadilan dengan Kejaksaan dan Ditjen Pemasyarakatan Kanwil Kemenkum HAM setempat.
"Selama masa darurat wabah penyakit akibat virus corona, persidangan perkara pidana dapat dilakukan secara jarak jauh atau teleconference. Untuk pelaksanaan lebih lanjut, agar melakukan koordinasi dengan kejaksaan negeri dan rutan/ lapas terkait dengan tetap memperhatikan ketentuan undang-undang yang berlaku," bunyi surat Dirjen Badilum MA yang dibenarkan oleh Kabiro Hukum dan Humas MA, Abdullah.