Selasa 31 Mar 2020 19:03 WIB

Langit Biru Jakarta dan Perpanjangan Physical Distancing

Kebijakan physical distancing berhasil perbaiki kualitas udara di banyak kota besar

Foto aerial kendaraan melintas di kawasan Semanggi, Jakarta, Jumat (27/3/2020). Lengangnya Jakarta akibat kebijakan physical distancing membantu memperbaiki kualitas udara Ibu Kota.
Foto: GALIH PRADIPTA/ANTARA FOTO
Foto aerial kendaraan melintas di kawasan Semanggi, Jakarta, Jumat (27/3/2020). Lengangnya Jakarta akibat kebijakan physical distancing membantu memperbaiki kualitas udara Ibu Kota.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Inas Widyanuratika, Noer Qomariah, Antara

Kebijakan physical distancing yang diberlakukan di Jakarta dan sekitarnya sudah memasuki pekan ketiga. Berdasarkan hasil pemodelan kualitas udara, perpanjangan pelaksanaan physical distancing yang lebih ketat berpeluang memperbaiki kualitas udara di Jakarta dalam lima hingga 10 hari ke depan.

Baca Juga

"Berdasarkan regresi linear yang telah dilakukan, terlihat ada potensi penurunan pencemaran udara menuju kualitas udara dengan kategori Baik (PM2.5 concentration max 15 μg per m3) dalam 5-10 hari ke depan," kata Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin di Jakarta, Selasa (31/3).

Perbaikan kualitas udara menjadi Baik itu, menurut dia, terutama akan terjadi apabila social atau physical distancing terus dijalankan dengan lebih baik. Termasuk dengan pelarangan total kendaraan penumpang pribadi dan umum melintas di Jabodetabek tanpa alasan yang mendesak dan darurat, guna memperoleh manfaat ganda, selain untuk mencegah penularan Covid-19 dan menurunkan pencemaran udara yang dapat meringankan risiko pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2.

Selama physical distancing masih belum berjalan secara sempurna yang ditandai oleh disiplin masyarakat maupun tindakan tegas aparat penegak hukum, maka pencemaran udara masih akan relatif tinggi, ujar dia.

Di Provinsi Hubei, China, ketika awal kebijakan isolasi total diterapkan untuk Kota Wuhan kualitas udara tidak serta merta membaik. Diperlukan proses peluruhan fine particulate ke permukaan tanah dan perlu isolasi total, termasuk terhadap lalu lintas kendaraan bermotor yang dimaksudkan untuk menghentikan proses penularan Covid-19 yang kemudian memberikan manfaat ganda dalam menghentikan paparan debu jalanan dan emisi lainnya, katanya.

Regresi linear yang dilakukan KPBB untuk mengetahui kualitas udara selama periode pelaksanaan social atau physical distancing selama 16-25 Maret 2020 dengan menganalisa data kualitas udara berdasarkan Ambient Air Quality Monitoring Station (AAQMS) atau Stasiun Pemantau Kualitas Udara Ambient, dan Roadside Air Quality Monitoring atau pemantauan kualitas udara pinggir jalan. Analisa data diambil dari lima titik yang merepresentasikan kelima wilayah kota di Jakarta.

Untuk AAQMS, Ahmad bersama timnya menggunakan data hasil pemantauan AAQMS-US Embassy yang ditempatkan di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. AQMS di Jakarta Pusat menunjukkan rata-rata konsentrasi PM2.5 antara tanggal 16-25 Maret 2020 adalah 30.13 μg per meter kubik (m3) atau masih lebih tinggi dari rata-rata pada periode yang sama di 2019 yang mencapai 14.99 μg per m3. Sebagai konsekuensi bahwa periode Januari hingga 2020 memang lebih tinggi pencemaranya mencapai 25.78 μg per m3 dibandingkan periode yang sama di 2019 yang mencapai 24.49 μg per m3.

Dari hasil AQMS–US Embassy yang ditempatkan di Jakarta Selatan terlihat rata-rata pada saat diterapkan social atau physical distancing antara 16-25 Maret 2020 adalah 44.62 33 μg per m juga masih lebih tinggi dari rata-rata pada periode yang sama pada 2019 yaitu 30.49 μg per m, sekalipun mulai menunjukkan data penurunan secara berangsur-angsur atas konsentrasi parameter PM2.5.

Sementara dari sampling Roadside Air Quality Monitoring yang mengukur pencemaran udara pinggir jalan (bukan pencemaran udara ambient) dari lima titik pemantauan roadside pada 17-23 Maret 2020 dengan enam parameter yang diukur, di antaranya karbon monoksida (CO), hidro karbon (HC), nitrogen dioksida (NO2), Ozone (O3), particulate matter 10 (PM10), sulfur dioksida (SO2) menunjukkan kecenderungan menurun tajam dibandingkan hasil pengukuran di lokasi yang sama pada 2011 sampai dengan 2019.

Bukan kualitas udara Jakarta saja yang membaik. Kualitas udara Yogyakarta yang juga mempraktikkan kebijakan physical distancing mengalami perbaikan.

"Sekitar sepekan terakhir, kualitas udara di Yogyakarta cukup baik, bahkan lebih baik dibanding pekan sebelumnya. Dimungkinkan ada kaitannya dengan penurunan volume kendaraan yang melintas di Yogyakarta. Banyak warga yang memilih tinggal di rumah agar tidak terpapar virus corona,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta Suyana di Yogyakarta, Senin (30/3).

Menurut dia, seluruh parameter pemantauan kualitas udara menunjukkan hasil jauh di bawah ambang batas baku mutu yang sudah ditetapkan. Parameter tersebut meliputi konsentrasi partikel debu dengan ukuran 10 mikron (PM10) dan 2,5 mikron (PM2,5), sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), ozon (O3), dan nitrogen dioksida (NO2).

“Biasanya, konsentrasi CO di Kota Yogyakarta cukup tinggi karena banyaknya kendaraan bermotor yang melintas. Namun, beberapa hari terakhir ini berkurang sangat signifikan,” katanya.

Kebijakan karantina di berbagai negara di dunia telah menyebabkan penurunan polusi udara di juga beragam negara, Para ilmuwan melihat penampakan di beberapa lokasi di Eropa dan Asia mengalami penurunan polusi udara.

Pusat Nasional Ilmu Atmosfer (NCAS) Inggris menemukan setitik partikel kecil sepertiga hingga setengahnya di London, Brimingham, Bristol, dan Cardiff. Polusi nitrogen dioksida juga menurun pada tingkat yang sama. NO2 biasanya diproduksi dari mesin mobil, pembangkit listrik, dan proses industri lainnya.

"Udara jelas jauh lebih sehat," kata Profesor dari NCAS dan Universitas York. James Lee, dilansir di Fox News.

Ia mengatakan, dalam situasi Covid-19, menunjukkan bahwa manusia di dunia bisa mencapai banyak hal tanpa bepergian. "Ini menunjukkan bahwa jika kita bekerja dari rumah lebih banyak di waktu normal, maka kita akan mempengaruhi polusi udara," kata Profesor polusi udara dari Universitas Leicester, Paul Monks.

Hal senada dijelaskan Profesor sistem bumi, Marshall Burke yang menggunakan data dari sensor pemerintah Amerika Serikat. Empat kota di China merasakan manfaat dari pengurangan polusi udara ini.

Ia mengatakan, pengurangan polusi selama dua bulan terakhir kemungkinan telah menyelamatkan nyawa 4.000 anak di bawah lima tahun. Selain itu juga 73 ribu orang dewasa di atas usia 70 tahun.

Burke menegaskan, salah dan bodoh untuk menyimpulkan pandemi Covid-19 baik untuk kesehatan. Namun, perhitungan yang ditemukannya bisa menjadi pengingat berguna bahwa cara kita dalam melakukan sesuatu bergantung pada kesehatan dan mata pencaharian.

Instrumen Pemantauan Tropis di atas satelit Copernicus, TROPOMI telah mengamati perubahan atmosfer dari ruang angkasa. TROPOMI merupakan kolaborasi antara Badan Antariksa Eropa, Komisi Eropa, Kantor Antariksa Belanda, industri, pengguna data dan ilmuwan.

Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS), dengan instrumen TROPOMI, mengidentifikasi penurunan signifikan dalam partikel halus (polutan udara utama). Dengan pengamatan satelit dan model komputer atmosfer, para peneliti telah menemukan penurunan 20 sampai 30 persen pada partikel permukaan selama petak besar di China.

Emisi nitrogen dioksida turun dari 20 Desember 2019 hingga 16 Maret 2020 (dengan rata-rata bergerak 10 hari). Menjelang akhir Maret, dapat dilihat ada peningkatan emisi lagi. Hanya saja ada penurunan yang berbeda dan signikan pada akhir Januari.

Direktur program pengamatan Bumi ESA, Josef Aschbacher mengatakan, satelit menawarkan titik pandang yang unik untuk memantau kesehatan planet Bumi. Sentinel-5P adalah salah satu dari tujuh satelit Copernicus di orbit hari ini.

“Satelit saat ini memberikan pengukuran paling akurat dari nitrogen dioksida dan gas jejak lainnya dari luar angkasa,” ujar Aschbacher dalam sebuah pernyataan, seperti yang dilansir dari Space.

Ia melanjutkan, nitrogen dioksida, terutama dihasilkan oleh lalu lintas dan pabrik, merupakan indikator tingkat pertama aktivitas industri di seluruh dunia. Yang jelas terlihat adalah penurunan signifikan kadar nitrogen dioksida di China. Ini disebabkan berkurangnya aktivitas karena pencegahan penyebaran Covid-19, juga pembatasan pada Tahun Baru China pada Januari lalu. Namun, ini hanya perkiraan kasar, manajer misi ESA Copernicus Sentinel-5P Claus Zehner menambahkan dalam pernyataan.

“Kami sedang melakukan analisis ilmiah terperinci yang akan segera memberikan lebih banyak wawasan dan hasil terukur dalam berpekan-pekan dan berbulan-bulan berikutnya,” kata Zehner.

photo
Pertolongan Bila Terkena Corona - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement