Selasa 31 Mar 2020 14:32 WIB

Satu Lagi Negara Tertipu Pemasok Tes Cepat Impor dari China

Belanda ikuti langkah Spanyol membatalkan penggunaan tes cepat impor dari China.

Petugas menunjukkan alat tes cepat (rapid test) COVID-19 saat akan menguji petugas penjaga ruang perawatan di Rumah Isolasi Rumah Dinas Wali Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (30/3/2020). Pemkot Semarang mengubah rumah dinas wali kota menjadi rumah isolasi dengan sejumlah fasilitas standar keamanan Gugus Tugas Penanganan COVID-19 berkapasitas 94 ruang untuk PDP dan 6 ruang isolasi darurat untuk pasien positif Covid-19, serta menyediakan alat tes cepat (rapid test) guna menangani wabah virus Corona (COVID-19) di wilayah Kota Semarang
Foto: AJI STYAWAN/ANTARA FOTO
Petugas menunjukkan alat tes cepat (rapid test) COVID-19 saat akan menguji petugas penjaga ruang perawatan di Rumah Isolasi Rumah Dinas Wali Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (30/3/2020). Pemkot Semarang mengubah rumah dinas wali kota menjadi rumah isolasi dengan sejumlah fasilitas standar keamanan Gugus Tugas Penanganan COVID-19 berkapasitas 94 ruang untuk PDP dan 6 ruang isolasi darurat untuk pasien positif Covid-19, serta menyediakan alat tes cepat (rapid test) guna menangani wabah virus Corona (COVID-19) di wilayah Kota Semarang

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adysha C Ramadhani, Rizky Suryarandika, Dwina Agustin

Pengetesan dengan alat rapid test atau tes cepat menimbulkan pro dan kontra. Salah satunya dari segi kualitas.

Baca Juga

Belanda menjadi salah satu negara yang menyusul keputusan Spanyol menolak alat tes cepat Covid-19 buatan China. Belanda menyebut kit pengetesan cepat dan alat pelindung diri yang diimpor dari pemasok di Beijing, China, di bawah standar sehingga kualitasnya dipertanyakan.

Belanda bukan negara pertama yang menolak kit alat pengetesan Covid-19 dan APD dari Beijing. Sebelumnya, Spanyol, Turki, Georgia, dan Republik Cheska juga melakukan hal serupa karena mempertanyakan kualitas masker dan kit pengetesan cepat yang dipasok dari Beijing tersebut.

Kementerian Kesehatan Belanda menyatakan mereka terpaksa harus mengembalikan sebanyak 600 ribu masker dari China karena menemukan kecacatan. Sebagian masker tak bisa menutupi area mulut dengan sempurna, sedangkan sebagian lain dari masker tersebut tidak memiliki lapisan penyaring yang cukup.

"Petugas kesehatan telah diinformasikan dan diberi tahu untuk tidak menggunakan masker tersebut," kata Kementerian Kesehatan Belanda dalam pernyataan resmi, seperti dilansir Fox News.

Kementerian Kesehatan Belanda menyatakan dunia sedang mengalami keterbatasan APD. Di sisi lain, APD yang tersedia tidak memenuhi standar yang baik. "Ini merupakan masalah di semua negara," ungkap Kementerian Kesehatan Belanda.

Terkait kualitas alat pengujian cepat ini, Beijing mengungkapkan bahwa alat yang mereka jual kepada Spanyol dibeli dari perusahaan bernama Bioeasy. Bioeasy merupakan perusahaan China yang tidak memiliki lisensi untuk membuat alat pengujian cepat Covid-19. Terkait insiden ini, Pemerintah China menyatakan akan menginvestigasi Bioeasy.

Pemerintah Spanyol telah mengembalikan sejumlah tes cepat buatan China yang rusak kepada perusahaan Spanyol yang memasoknya. Kedutaan Besar China di Madrid menulis di Twitter bahwa pabrikan itu tidak memiliki lisensi untuk menjual. Spanyol membalas bahwa produk tersebut memiliki sertifikasi Eropa.

Sumber diplomatik mengatakan kepada Reuters bahwa harga alat tes cepat telah naik 10 kali lipat dalam beberapa kasus. Di samping itu, perusahaan China menuntut pembayaran di muka.

 

Sumber otoritas kesehatan mengatakan, ada antrean pesawat di beberapa bandara China hanya untuk mengantar persediaan seperti itu. Di lain sisi, para perantara sering menipu pembeli.

Para pejabat tidak menyebutkan nama penjual itu, hanya mengatakan mereka biasanya lebih kecil, perusahaan swasta. Negara ini pun meminta bantuan NATO dan berjanji mendukung pabrik-pabrik menyesuaikan jalur produksi untuk membuat lebih banyak perlengkapan medis di dalam negeri.

Indonesia juga merupakan salah satu negara yang menggunakan kit tes cepat. Juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona, Achmad Yurianto, memastikan tak akan sembarangan dalam mendatangkan alat rapid test untuk pengujian massal Covid-19 bagi masyarakat. Pemerintah sudah menetapkan standar prosedur pengadaan alat rapid test.

Yuri mengungkapkan hal tersebut saat mengomentari kasus di Spanyol terkait kerusakan kit rapid test usapan nasofaring yang didatangkan dari China. Pemerintah Kota Madrid, Spanyol, pun menyetop pemakain alat rapid tes produksi Shenzhen Bioeasy Biotechnology yang belakangan ditemukan hanya memiliki akurasi sekitar 30 persen itu.

Padahal, rapid test disyaratkan harus dapat memiliki akurasi 80 persen, seperti yang dijanjikan Bioeasy. Koran Spanyol El País mengabarkan, Pemerintah Kota Madrid menyetop pemakaian kit rapid test tersebut dan mengembalikannya ke pemasok.

"Kalau barangnya jelek ya tidak dipakailah. Kan ada tanggal kedaluwarsanya, standarnya, kan semua dilihat dulu. Kalau tahu alatnya jelek, ngapain dibeli," kata Yuri, Sabtu (28/3).

Pemerintah Spanyol selanjutnya meminta Shenzhen Bioeasy mengganti pasokan tes kit tersebut. Jumlah pesanan rapid test Spanyol mencapai 340 ribu unit. Dana yang dikucurkan Spanyol di angka 432 juta euro untuk memesan berbagai peralatan medis dari China.

"Mekanisme di sini ketat agar kasus di Spanyol tak terulang di sini," ujar Yuri.

Tes cepat bukanlah alat untuk diagnosis, melainkan penelusuran terhadap kasus positif corona melalui tes serologi yang mendeteksi reaksi antibodi. Artinya, ketika seseorang dinyatakan negatif, orang itu belum tentu bebas Covid-19. Bisa saja virus sedang berproses untuk menimbulkan gejala penyakit. Pasien perlu menjalani pemeriksaan ulang pada hari ketujuh berikutnya supaya mendapat kepastian.

Sebagian ilmuwan memang mempertanyakan keandalan tes cepat. Mereka menilai, tak jelas apakah hasil tes betul-betul akurat.

Secara umum, ada dua jenis alat tes cepat yang saat ini banyak digunakan. Salah satunya adalah tes antigen yang menggunakan swab hidung atau tenggorokan untuk mengetahui keberadaan virus, seperti yang digunakan Spanyol.

Jenis lainnya adalah tes antibodi yang menggunakan pemeriksaan darah untuk mengetahui apakah seseorang pernah terinfeksi virus atau tidak. Inilah yang dipakai Indonesia.

Namun, masih ada tanda tanya besar mengenai akurasinya, selama apa antibodi dan imunitas bertahan, dan terhadap siapa tes darah ini harus diterapkan. Di samping itu, otoritas kesehatan di China, AS, dan negara lain tak banyak memberikan informasi soal detail tingkat hasil positif palsu maupun negatif palsu dari setiap kit uji cepat.

"Kita belum punya semua jawabannya," kata Dr Robin Patel selaku ketua American Society for Microbiology.

Hal itu membuat ilmuwan khawatir rapid test tak terlalu andal daripada metode pengujian yang lebih memakan waktu. Rendahnya akurasi itu pula yang dialami Spanyol.

Kepala peneliti dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dr Soumaya Swaminathan mengatakan, tes cepat virus corona dalam skala besar dapat membantu tenaga kesehatan untuk mengetahui siapa saja orang-orang yang tampak sehat tetapi sebenarnya terinfeksi. Swaminathan mengingatkan bahwa tidak semua orang yang menderita Covid-19 menunjukkan gejala.

"Kita tahu bahwa jika Anda benar-benar ke luar dan mengetes semua orang di masyarakat, Anda akan mendapati orang-orang berkeliling bebas dengan virus ini di tubuhnya dan tak merasa sakit sama sekali," ungkap Swaminathan.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia dr Daeng M Faqih mengatakan, tes cepat membantu mengidentifikasi lebih banyak pasien positif Covid-19. "Rapid test untuk mempercepat dan memperluas pencarian kasus," ungkap dia.

Tes cepat di Tanah Air akan menyasar petugas medis dan orang-orang yang punya kontak dekat dengan pasien positif Covid-19. Mereka yang hasil tes cepatnya positif akan lanjut menjalani PCR, sedangkan yang negatif masih harus mengulang pengujian tujuh hari kemudian untuk menghindari negatif palsu.

photo
Penyemprotan Disinfektan - (Republika/Mardiah)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement