REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Sapto Andika Candra, Fauziah Mursid
Terjawab sudah teka-teki dan perdebatan apakah akan ada karantina wilayah alias lockdown di Indonesia atau tidak. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah memutuskan opsi yang berbeda.
Presiden Jokowi meminta dibuat aturan pembatasan sosial skala besar (PSSB) sebagai senjata baru untuk menangkal penyebaran Covid-19. Demi mendukung penerapan PSSB itu, Jokowi pun menimbang perlu diterapkannya kebijakan darurat sipil.
"Saya minta pembatasan sosial berskala besar. Physical distancing dilakukan lebih tegas, lebih disiplin, dan lebih efektif lagi sehingga tadi juga sudah saya sampaikan perlu didampingi kebijakan darurat sipil," kata Presiden Jokowi dalam pembukaan rapat terbatas, Senin (30/3).
Presiden memerintahkan jajaran menterinya untuk segera menyiapkan aturan pelaksanaan di level provinsi, kabupaten, dan kota agar pembatasan sosial skala besar dan pendisiplinan penjarakan fisik bisa benar-benar diterapkan di lapangan.
"Dan, saya ingatkan kebijakan kekerantinaan kesehatan, termasuk karantina wilayah adalah kewenangan pemerintah pusat, bukan pemda," Jokowi menjelaskan.
Istilah PSSB sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam pasal 15 beleid itu disebutkan bahwa PSSB merupakan salah satu tindakan kekerantinaan kesehatan yang dilakukan terhadap alat angkut, orang, barang, dan lingkungan.
Pasal 59 UU Kekerantinaan Kesehatan menyebutkan bahwa PSSB bertujuan mencegah meluaskan penyebaran penyakit yang terjadi antarorang di sebuah wilayah. Kebijakan PSSB diatur dalam pasal yang sama, sedikitnya meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Status darurat sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Dalam pasal 3 beleid tersebut disebutkan bahwa keadaan darurat sipil tetap ditangani oleh pejabat sipil yang ditetapkan presiden dengan dibantu oleh TNI/Polri.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, dalam rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo, sudah diputuskan dari beberapa alternatif dan masukan dari sejumlah gubernur.
"Jadi, tinggal menuangkan dalam PP, baik PP tentang Penetapan Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat maupun PP tentang Kriteria Kekarantinaan Kesehatan," ujarnya, Senin (30/3).
Muhadjir mengatakan, arahan yang disetujui Presiden untuk karantina skala kabupaten/kota dan provinsi adalah pembatasan sosial berskala luas.
"Bapak Presiden menyampaikan arahan bahwa untuk skala kabupaten kota atau provinsi yang dapat disetujui adalah PSBB," kata Muhadjir.
Untuk karantina wilayah bisa dilaksanakan dengan cakupan kecil, misalnya setingkat wilayah RT, wilayah desa, dan seterusnya. Untuk karantina jenis itu, kewenangannya diserahkan ke daerah.
"Insya Allah, itu akan diatur di dalam PP, mudah-mudahan PP-nya dalam dua-tiga hari sudah terbit," ujarnya.
Isu karantina wilayah sebelumnya mencuat akan menjadi pembahasan dan keputusan pada ratas tersebut. Namun Presiden Jokowi lebih memilih pembatasan sosial skala besar dengan diikuti darurat sipil.
Dalam ulasannya di Republika.co.id, redaktur Republika Online, Ratna Puspita menulis, pembatasan sosial berskala besar tidak sama dengan karantina wilayah atau istilah yang lebih populer: lockdown. Hal tersebut secara eksplisit termaktub dalam UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Pasal 10 aturan tersebut menyebutkan bahwa karantina wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Pasal 11 menyatakan bahwa pembatasan sosial berskala besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
BACA LENGKAP: Ini Beda Karantina Wilayah dan Pembatasan Sosial Skala Besar
Perbedaan antara dua aturan tersebut adalah karantina wilayah secara tegas mengamanatkan pembatasan di pintu masuk, bahkan penutupan. Sementara itu, pembatasan sosial berskala besar tidak mengamanatkan adanya pembatasan di pintu masuk atau penutupan akses dari dan ke suatu wilayah. Pembatasan sosial hanya mengamanatkan pembatasan kegiatan penduduk.
Darurat Sipil
Dalam Perppu Darurat Sipil dijelaskan 'keadaan darurat sipil' adalah keadaan bahaya yang ditetapkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang untuk seluruh atau sebagian wilayah negara.
Penanganan darurat sipil tetap dipegang oleh pejabat sipil atas penetapan Presiden dan dibantu TNI/Polri.
Berikut ini bunyi pasal dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1953 ini.
Pasal 1
(1) Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila:
1. keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
2. timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;
3. hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.
Dalam Pasal 3 ditegaskan bahwa penguasa keadaan darurat sipil adalah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat. Dalam keadaan darurat sipil, presiden dibantu suatu badan yang terdiri atas:
1. Menteri Pertama
2. Menteri Keamanan/Pertahanan
3. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah
4. Menteri Luar Negeri
5. Kepala Staf Angkatan Darat
6. Kepala Staf Angkatan Laut
7. Kepala Staf Angkatan Udara
8. Kepala Kepolisian Negara
Namun presiden dapat mengangkat pejabat lain bila perlu. Presiden juga bisa menentukan susunan yang berlainan dengan yang tertera di atas bila dinilai perlu.
Pada tingkat daerah, penguasaan keadaan darurat sipil dipegang oleh kepala daerah serendah-rendahnya adalah kepala daerah tingkat II (bupati/wali kota). Kepala daerah tersebut dibantu oleh komandan militer tertinggi dari daerah yang bersangkutan, kepala polisi dari daerah yang bersangkutan, dan seorang pengawas/kepala kejaksaan daerah yang bersangkutan.
Penguasa darurat sipil daerah harus mengikuti arahan penguasa darurat sipil pusat. Presiden dapat mencabut kekuasaan dari penguasa darurat sipil daerah.
Penghapusan keadaan bahaya dalam hal ini darurat sipil dilakukan oleh presiden/panglima tertinggi angkatan perang. Namun kepala daerah dapat terus memberlakukan keadaan darurat sipil maksimal empat bulan setelah penghapusan keadaan darurat sipil oleh pusat.
BACA LENGKAP: Apa Itu Darurat Sipil?
Terkait darurat sipil ini, Presiden memerintahkan jajaran menterinya untuk segera menyiapkan aturan pelaksanaan di level provinsi, kabupaten, dan kota agar pembatasan sosial skala besar dan pendisiplinan penjarakan fisik bisa benar-benar diterapkan di lapangan.
Jokowi meminta agar pemimpin daerah memiliki visi yang sama dengan pusat dalam penanganan dan pencegahan penyebaran penyakit Covid-19 ini. "Dan saya ingatkan kebijakan kekarantinaan kesehatan termasuk karantina wilayah adalah kewenangan pemerintah pusat, bukan pemda," ucap Jokowi.
Komnas HAM: Pentingkan Darurat Kesehatan
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam menilai Indonesia lebih memerlukan darurat kesehatan nasional, bukan darurat sipil dalam kondisi pandemi Covid-19.
Darurat kesehatan nasional dinilai jauh lebih relevan daripada darurat sipil yang disampaikan Presiden RI Joko Widodo sebagai alternatif terakhir di tengah pandemi Covid-19.
"Dari prespektif tujuan saja berbeda jauh," kata Anam melalui pesan singkatnya saat dikonfirmasi Republika.co.id, Senin (30/3).
Anam menjelaskan, darurat kesehatan nasional bertujuan memastikan kondisi kesehatan masyarakat yang terancam, dan dibutuhkan kerja sama yang serius dengan pihak masyakarat itu sendiri, termasuk solidaritas dari sesama yg tidak kena dampak covid 19.
Sedangkan, darurat sipil tujuannya untuk menertibkan sipil. Biasanya, darurat sipil digunakan untuk memastikan roda pemerintahan berjalan dengan tertib.
"Oleh karenanya dalam situasi covid-19 yg terus meningkat, belum maksimalnya sarana prasana yg digunakan memerangi covid-19 ini harusnya darurat kesehatan," kata Anam.
Pendekatan utama darurat kesehatan ini, jelas Anam adalah kepentingan kesehatan. Salah satu cara kerjanya yakni dengan membangun kesadaran masyarakat dan solidaritas.
"Tujuannya pada kerja-kerja kesehatan, bukan pada kerja penertiban. Misalkan, mendorong keaktifan perangkat pemerintahan terkecil spt RT dan RW termasuk Puskesmas menjadi garda komunikasi terdepan dan lain-lain," ujar dia.
BACA JUGA: Lockdown Total India "Chaos"
(amri amrullah/rahayu subekti/flori sidebang)