Kamis 26 Mar 2020 19:18 WIB

Peneliti LIPI: Herd Immunity Skenario Paling Buruk

Dalam herd immunity dibutuhkan banyak orang terinfeksi untuk tercipta kekebalan.

Petugas mengangkat peti jenazah pasien suspect corona di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tegal Alur, Kalideres, Jakarta, Kamis (26/3). TPU Tegal Alur merupakan salah satu lahan pemakaman yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bagi pasien yang meninggal karena Corona atau Covid-19
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Petugas mengangkat peti jenazah pasien suspect corona di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tegal Alur, Kalideres, Jakarta, Kamis (26/3). TPU Tegal Alur merupakan salah satu lahan pemakaman yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bagi pasien yang meninggal karena Corona atau Covid-19

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekebalan kelompok (herd immunity) adalah solusi terakhir dan skenario paling buruk untuk menangani Covid-19 dengan risiko yang besar. Pasalnya, dibutuhkan banyak jumlah orang terinfeksi untuk membentuk kekebalan.

"Herd immunity adalah skenario terburuk sebetulnya, jangan sampai kita terinfeksi semua karena biaya perawatan bisa menjadi lebih mahal," kata peneliti mikrobiologi dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sugiyono Saputra ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis.

Baca Juga

Menurut dia, memang dalam teori herd immunity atau kekebalan kelompok atau komunitas membuat kemungkinan virus menginfeksi akan semakin kecil ketika tercipta keadaan banyak orang memiliki kekebalan terhadap penyakit tertentu.

Kekebalan seseorang dapat muncul jika dia sudah pulih dari infeksi penyakit atau lewat intervensi medis atau vaksinasi.

Menurut situs Kementerian Kesehatan sendiri herd immunity menimbulkan dampak tidak langsung (indirect effect) yaitu turut terlindunginya kelompok masyarakat yang bukan merupakan sasaran imunisasi dari penyakit bersangkutan.

Namun, herd immunity membutuhkan jumlah orang yang terinfeksi dan sembuh dalam jumlah besar. Untuk kasus virus yang belum terdapat vaksinnya seperti COVID-19 hal itu akan menimbulkan risiko besar.

"Lebih baik saat ini mendorong pencegahan jangan sampai tertular, jangan sampai kita menunggu sakit lalu terus kebal," kata dia.

Upaya pencegahan ada dalam bentuk farmasi dan nonfarmasi. Untuk farmasi saat ini para peneliti tengah meneliti vaksin untuk mencegah COVID-19 dan obat untuk menyembuhkan dari penyakit yang menyerang sistem pernapasan itu.

"Sedangkan upaya nonfarmasi seperti yang tengah digalakkan oleh pemerintah saat ini yaitu physical distancing atau menjaga jarak untuk menekan angka penularan penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV-2 itu," ujar Sugiyono.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement