REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Arie Lukihardianti, Antara
Pada hari ini, pemerintah kembali mengumumkan adanya penambahan 107 kasus positif Covid-19 di Indonesia. Sehingga per Selasa (24/3), total ada 686 kasus positif Covid-19 dengan jumlah pasien yang meninggal dunia bertambah enam orang sehingga total menjadi 55 orang.
Lonjakan jumlah pasien terinfeksi virus korona pada hari ini cukup tinggi dibanding jumlah penambahan pada Senin (23/3) kemarin sebanyak 65 orang. Penambahan jumlah yang cukup tinggi ini sejalan dengan rapid test atau tes cepat yang dilakukan pemerintah.
"Update pada posisi 24 Maret 2020 pukul 12.00 WIB sebagai berikut, kasus kumulatif positif sebanyak 686, kemudian kumulatif pasien sembuh sebanyak 30 orang, dan kumulatif kematian sebanyak 55 orang," jelas Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto, Selasa (24/3).
Yuri menambahkan, rapid test yang dilakukan dalam beberapa hari ke depan akan fokus pada dua kelompok. Kelompok pertama adalah hasil tracing terhadap pasien positif Covid-19. Artinya, pihak-pihak yang pernah melakukan kontak langsung dengan pasien Covid-19 akan diprioritaskan.
Prioritas kedua adalah tenaga medis yang menanangani pasien positif Covid-19. Sebanyak 125 ribu kit rapid test sudah dikirim pemerintah pusat ke 34 provinsi di Indonesia.
Yurianto menyebut, rapid test atau tes cepat hanya memeriksa antibodi seseorang, bukan pemeriksaan langsung terhadap COVID-19. "Rapid test atau tes cepat, ini tes yang kami laksanakan beberapa hari lalu dan selanjutnya masih kami laksanakan menggunakan metode pemeriksaan antibodi. Jadi bukan melakukan pemeriksaan langsung terhadap virusnya," ujar Achmad Yurianto di Jakarta, Selasa.
Yuri mengatakan bahwa untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap virusnya, maka perlu menggunakan metode pemeriksaan yang berbasis pada antigen di mana melakukan pemeriksaan melalui swab atau usapan terhadap dinding belakang rongga hidung atau rongga mulut.
"Kalau dengan metode ini maka akan melakukan pemeriksaan terhadap virusnya. Artinya kalau ditemukan positif maka diyakini di dalam tubuh penderita tersebut ada virus COVID-19," katanya.
Namun, kata dia, untuk metode rapid test yang digunakan sebenarnya merupakan skrining atau penapisan secara pendahuluan terhadap adanya kasus positif di masyarakat. Maka dari itu, ujar dia, yang diperiksa untuk tes cepat ini adalah antibodinya yang ada di dalam darah sehingga spesimen atau sampel yang diambil adalah darah, bukan usapan tenggorokan.
"Diharapkan dengan adanya tes cepat ini maka kita bisa menjaring dengan kasar tentunya secara cepat atas keberadaan kasus positif Covid-19," ujar Yuri.
DKI Jakarta menjadi daerah yang paling banyak kebagian jatah alat rapid test dari pemerintah pusat. Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Widyastuti, mengatakan bahwa penggunaan alat rapid test diprioritaskan bagi mereka yang pernah memiliki kontak dengan pasien positif Covid-19.
"Kita tahu bahwa satu kasus positif kalau kita tracing kontak bisa mempunyai hubungan dengan kasus positif itu banyak," kata Widyastuti dalam keterangannya seperti di Balai Kota, Jakarta, Selasa.
"Yang kita fokuskan adalah yang memiliki kontak erat dengan kasus positif," tambah dia.
Dia mengatakan bahwa saat ini Pemprov DKI Jakarta telah menerima sebanyak 100 ribu alat rapid test dan telah siap digunakan. Dinkes DKI tengah membuat standar, operasi, prosedur (SOP) alokasi penggunaan rapid test.
"Karena kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk DKI harus proporsional," jelasnya.
Selain DKI Jakarta, beberapa daerah, seperti Jawa Barat, juga akan memulai rapid test. Menurut Gubernur Jabar Ridwan Kamil, tes masif atau tes yang jumlahnya banyak tapi terbatas kepada warga yang diprioritaskan ini rencananya dimulai Rabu, (25/3).
Tes masif di daerah dengan penyebaran COVID-19 paling besar itu tidak ditujukan bagi seluruh warga Jabar, melainkan hanya untuk tiga kategori. Pertama, kata dia, kategori A yakni masyarakat dengan risiko tertular paling tinggi seperti Orang Dalam Pemantauan (ODP) yang baru tiba dari luar negeri, Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan keluarga, tetangga, dan temannya, serta petugas kesehatan di rumah sakit yang menangani Covid-19.
Kedua, kata dia, Kategori B yaitu masyarakat dengan profesi yang interaksi sosialnya atau rawan tertular. Serta Ketiga, Kategori C meliputi masyarakat luas yang memiliki gejala sakit yang diduga penyakit Covid-19. Dugaan tersebut harus merujuk keterangan dari fasilitas kesehatan, bukan self-diagnosis atau mendiagnosis diri sendiri.
“Tolong disosialisasikan bahwa tes masif ini bukan untuk semua orang. Ini adalah uji petik untuk mencari peta persebaran,” ujar Ridwan Kamil, Senin (23/3).
Sehingga, kata dia, kepada warga Jawa Barat, kalau merasa sehat tidak perlu tes. Kecuali, kalau sehat tapi masuk dalam kategori yang berinteraksi sosial-massa.
"Kalau tidak masuk dalam ketiga kategori tadi, maka tidak usah panik tinggal di rumah saja, sosial distancing. Tidak perlu khawatir harus di tes ini dan itu kecuali tiga kategori tadi,” katanya.
Emil memaparkan, tes masif yang akan dilakukan berupa RDT (rapid diagnose test) bagi Kategori B dan C secara drive-through (drive thru) mulai Rabu (25/3). Sementara untuk Kategori A tidak dilakukan secara drive thru, tetapi dikombinasikan dengan PCR (polymerase chain reaction) secara door-to-door di rumah sakit rujukan ODP dan PDP di daerah masing-masing.
“Proses drive-through ini akan dilaksanakan paling cepat Rabu (25/3). Sehingga sambil menunggu drive-through, para kepala daerah bisa melakukan tes masif ini kepada kategori A di wilayahnya masing-masing,” katanya.