REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Rr Laeny Sulistyawati, Sapto Andika Candra
Ibarat negara ini tengah berperang, tenaga medis yang terdiri atas dokter dan perawat di rumah-rumah sakit saat ini berperan sebagai bala tentaranya. Namun, sayang, belakangan terungkap cerita duka mulai dari tenaga medis yang wafat kala bertugas, minimnya alat pelindung diri (APD), sampai ada juga yang diusir dari kosan akibat stigma Covid-19.
Berita duka awalnya diterima pada Ahad (22/3). Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) membenarkan tiga dokter, yakni dokter spesialis saraf Hadio Ali Khazatsin, spesialis bedah Djoko Judodjoko, dan spesialis telinga hidung tenggorokan (THT) Adi Mirsa Putra mengembuskan napas terakhir akibat terserang virus corona (Covid-19) setelah menangani pasien yang positif terinfeksi virus itu. Karena itu, IDI meminta kebutuhan APD segera dipenuhi.
"Iya benar, tiga dokter yang meninggal dunia ," ujar Ketua Umum PB IDI Daeng M Faqih saat dihubungi Republika, Ahad (23/3).
Faqih menambahkan, berdasarkan informasi yang dihimpun dari sesama dokter, tiga tenaga medis ini tertular Covid-19 setelah merawat pasiennya. Dia menegaskan, APD ini penting untuk segera dipenuhi karena untuk keamanan dan perlindungan dokter. Sehingga, diharapkan tidak ada lagi korban meninggal karena tidak menggunakan APD yang memadai setelah menangani pasien.
Pihak IDI juga meminta transparansi pemerintah terkait jumlah tenaga medis yang meninggal akibat terpapar corona. IDI menduga masih ada beberapa tenaga medis lagi yang berstatus terpapar corona, tatapi belum terverifikasi.
"Saya dapat informasi, cuma masalahnya enggak ada konfirmasi. Jadi, harusnya ada keterbukaan data ini dan data orangnya itu menjadi penting," kata Ketua Satgas Covid-19 IDI Profesor Zubairi Djoerban kepada Republika, di Jakarta, Ahad (22/3).
Zubairi mengungkapkan bahwa tidak terbukanya data tersebut menimbulkan kegelisahan di kalangan tenaga medis. Dia mengaku mendapatkan laporan dari sejumlah daerah terkait terpaparnya tenaga medis, seperti dokter paru-paru di Medan yang terkonfirmasi Covid-19 dan meninggal. Selain itu, ada juga dokter paru-paru, dokter bedah, dokter THT, dokter spesialis syaraf, dan dokter gigi di Jakarta yang menjadi PDP.
"Itu sudah beberapa hari lalu dan harusnya kalau yang PDP itu sudah ada kepastian hasil," katanya.
Ketua Dewan Pertimbangan IDI itu melanjutkan, ada juga laporan seorang perawat di Jakarta meninggal. Dia menambahkan, ada laporan bahwa di Bogor sekitar lima dokter sedang diisolasi.
"Ini data internal kami, tapi ini memang bukan data yang solid karena itu berdasarkan laporan yang masuk ke IDI," katanya.
Zubairi mengungkapkan, kendala penanganan corona juga tidak berhenti sebatas APD. Dia mengatakan, negara saat ini juga kekurangan visual conversion reaction (VCR) yang berfungsi membawa virus dalam keadaan hidup untuk diteliti di labolatorium Balitbangkes.
"Jadi, APD (dan) VCR itu minim, dan rapid test itu juga masih belum diketahui lokasinya di mana karena rumah sakit kalau diminta rapid test enggak ada yang bisa nunjukkan di mana. Jadi, minta tolong rapid segera dibagikan ke rumah sakit," katanya.
Dia menegaskan, pandemi corona di Indonesia bisa jadi akan seperti fenomena gunung es. Karena itu, dia meminta keseriusan pemerintah untuk membenahi masalah yang terjadi.
Cerita tragis yang dialami tenaga kesehatan juga didapatkan dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). Ketua Umum PPNI Harif Fadhilah menungkap saat ini adanya stigma dari masyarakat terhadap perawat yang diketahui bekerja merawat pasien Covid-19.
"Mengenai stigma, saya baru mendapatkan informasi bahwa ada yang diusir dari kos. Itu tidak hanya terjadi pada perawat, melainkan dokter juga," ujar Harif saat dihubungi Republika, Senin (23/3).
Hingga kini pihaknya baru mengumpulkan dan menghimpun fakta mengenai ini. Menurut dia, solusi untuk masalah ini adalah institusi harus menyiapkan rumah singgah bagi tenaga kesehatan untuk sementara waktu. "Karena ketakutan masyarakat juga beralasan," katanya.
Pengadaan APD dan insentif
Soal keluhan minimnya APD untuk tenaga kesehatan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) hari ini merespons bahwa pemerintah berupaya memenuhi kebutuhan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis. Presiden menyebutkan, sebanyak 105 ribu kit APD yang dipesan pemerintah sudah tiba di Indonesia dan siap didistribusikan ke daerah per hari ini.
Perinciannya, sebanyak 45 ribu kit APD akan disalurkan ke Provinsi DKI Jakarta, Kota Bogor, dan Provinsi Banten. Kemudian, sebanyak 40 ribu kit APD akan didistribusikan ke Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Bali. Sebanyak 10 ribu kit APD dikirim ke seluruh provinsi di luar Jawa yang telah menetapkan status tanggap darurat corona, sementara sisanya sebanyak 10 ribu kit APD akan disimpan sebagai cadangan.
"Masih banyak keluhan mengenai yang berkaitan dengan kelangkaan APD. Perlu saya sampaikan bahwa sekarang ini 180 negara semuanya berebutan untuk mendapatkan, baik itu APD, baik itu masker, sanitizer, semua negara. Kita alhamdulillah pada hari Sabtu kemarin, kita telah siap lagi 105 ribu APD," ujar Jokowi setelah meresmikan penggunaan Wisma Atlet Kemayoran sebagai RS darurat corona, Senin (23/3).
Pemerintah pusat juga memutuskan untuk memberi insentif bulanan bagi tenaga medis yang bertugas di garda terdepan dalam penanganan Covid-19. Insentif bulanan ini hanya diberi kepada dokter, perawat, dan tenaga medis lain di daerah yang sudah menetapkan status tanggap darurat Covid-19. Besarannya pun bervariasi, antara Rp 5 juta dan Rp 15 juta per bulan.
Presiden Jokowi menjelaskan, kebijakan ini sudah diperhitungkan dengan matang bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dan mempertimbangkan kemampuan APBN. Berdasarkan keputusan ini, dokter spesialis diberi insentif bulanan sebesar Rp 15 juta, dokter umum dan gigi sebesar Rp 10 juta, tenaga keperawatan Rp 7,5 juta, dan tenaga medis lainnya Rp 5 juta.
"Dan akan diberikan santunan kematian sebesar Rp 300 juta dan ini hanya berlaku bagi daerah yang telah nyatakan tanggap darurat," kata Jokowi.