Selasa 10 Mar 2020 19:47 WIB

Penyitaan Aset Jiwasraya Harus Sama dengan Kerugian Negara

Kejakgung mengatakan penyitaan aset Jiwasraya harus sama dengan kerugian negara.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Bayu Hermawan
Direktur Penyidikan Pidana Khusus Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah(Bambang Noroyono)
Foto: Bambang Noroyono
Direktur Penyidikan Pidana Khusus Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah(Bambang Noroyono)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyitaan aset para tersangka dugaan korupsi dan pencucian uang (TPPU) Jiwasraya, harus setara dengan nilai kerugian negara. Direktur Penyidikan Direktorat Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Dirpidsus Kejakgung) Febrie Adriansyah menegaskan, pelacakan dan penyitaan aset akan terus dilakukan selama proses hukum berjalan. Kejakgung masih membutuhkan sekitar Rp 3,8 triliun aset sitaan.

Febrie menerangkan, hasil penghitungan kerugian negara (PKN) yang sudah ditetapkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus Jiwasraya, setotal Rp 16,81 triliun. Sementara penyitaan aset yang dilakukan Kejakgung terhadap enam tersangka sementara ini, baru ditaksir senilai Rp 13,1 triliun. 

Baca Juga

"Kita masih mengejar sisanya. Itu yang harus kita uber saat ini. Setidak-tidaknya, penyitaan itu, sesuai dengan nilai kerugian," katanya di Jakarta, Selasa (10/3).

Peluang Kejakgung untuk terus melakukan penyitaan aset, kata Febrie masih terbuka lebar. Karena, ia mengungkapkan, kordinasi antara Kejakgung dengan sejumlah lembaga, masih melakukan pelacakan aset para tersangka yang ada di luar negeri. 

"Memang harapannya, penyitaan aset-aset tersangka itu ada yang dari luar negeri," jelas Febrie. 

Akan tetapi, pelacakan aset milik tersangka yang berada di dalam negeri, pun kata dia, masih ada yang dalam proses. "Salah satunya, kan masih ada perusahaan yang saat ini masih dalam proses sita (tetapi belum dieksekusi)," ujar Febrie. 

Termasuk kata dia, ada sejumlah bidang tanah milik tersangka yang saat ini masih dalam proses verifikasi kepemilikan. "Ini kan semua harus dihitung," ucap Febrie. Yang pasti, ia memastikan, rencana penuntutan Kejakgung, memastikan aset sitaan dari tangan para tersangka, dapat dirampas negara, untuk menutupi kerugian negara, dan mengembalikan uang nasabah. 

"Itu yang penyidik harus kerja keras," kata Febrie.

Penyidikan Jiwasraya di Kejakgung sudah menetapkan enam tersangka. Tiga tersangka dari kalangan pebisnis saham, dan pertambangan, yakni Benny Tjokrosaputro, Heru Hidayat, dan Joko Hartono Tirto. Sedangkan tiga lainnya, para mantan petinggi Jiwasraya, yakni Hendrisman Rahim, Harry Prasetyo, dan Syahmirwan. Keenam tersangka itu, sudah dalam tahanan terpisah menunggu pendakwaan di persidangan. 

Kejakgung menjerat keenamnya dengan sangkaan Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 3, juncto Pasal 18 UU Tipikor 20/2001 j.o Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUH Pidana. Khusus tersangka Benny Tjokro dan Heru Hidayat, Kejakgung juga menebalkan sangkaan TPPU dengan menjerat keduanya dengan Pasal 3, 4, atau 5 UU 8/2010. Selain menetapkan dan menahan keenam tersangka, tim penyidikan di Kejakgung, juga masif melakukan penyitaan aset.

Dua perusahaan yang diidentifikasi terkait dengan Heru Hidayat, sudah berstatus sita. Satu perusahaan tambang batubara di Kalimantan Timur (Kaltim) PT Gunung Bara Utama, dan pertambakan arwana di Kalimantan Barat (Kalbar) PT Inti Agri Resource (IIKP). Satu perusahaan tambang emas di Lampung, PT Batutua Waykanan Mineral, juga sudah dalam proses sita oleh Kejakgung. Sedangkan dari tersangka Benny Tjokro, Kejakgung menyita banyak properti.

Seperti 93 unit apartemen mewah di Jakarta Selatan (Jaksel), dan melakukan blokir terhadap dua komplek perumahaan seluas 60 dan 20 hektare, serta 156 bidang tanah lainnya. Dari tersangka lainnya, Kejakgung juga melakukan blokir dan sita terhadap rumah tinggal dan hunian mewah di kawasan Jaksel, dan Jakarta Timur (Jaktim), termasuk menyita sembilan kendaraan mewah, juga perhiasan, dan surat-surat berharga lain.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement